Polemik tentang uji materi sistem Pemilu berakhir setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan itu pada Kamis (15/6/2023) kemarin. Salah satu argumen dari para pemohon yang dibantah MK adalah tentang kaitan antara penerapan sistem pemilu proporsional daftar terbuka dengan kemunculan caleg yang bersikap pragmatis. Menurut Hakim Konstitusi Saldi Isra yang menguraikan pertimbangan hukum, dalam persoalan itu sebenarnya bertumpu kepada proses di internal partai politik.
Saldi mengatakan artai politik memiliki kewenangan penuh dalam melakukan seleksi terhadap para kadernya yang dianggap layak untuk diajukan sebagai bakal calon anggota DPR/DPRD, yang sesuai dengan visi-misi dan cita-cita partai politik. Saldi mengatakan, selama ini partai politik kerap berpatokan kepada elektabilitas ketimbang mempertimbangkan pemahaman sang calon legislator. Alhasil, sejumlah caleg yang didaftarkan dan lolos ke DPR memang mereka yang mempunyai elektabilitas tinggi, tetapi kerap mengenyampingkan persoalan pemahaman politik, ideologi, dan visi-misi.
Dalam pertimbangannya Saldi memaparkan caleg yang pragmatis akan tetap muncul jika partai politik tidak berbenah dan menghindari praktik serupa. Hal itu bisa dilakukan jika terdapat niat yang baik dan diwujudkan oleh partai politik. Saldi mengusulkan supaya para kader partai politik yang akan didaftarkan sebagai caleg DPR/DPRD sebaiknya terlebih dulu aktif di partai selama beberapa waktu. Hal itu dilakukan untuk memupuk pemahaman kader tentang visi-misi sampai agenda partai politik yang bersangkutan.