Wakil Ketua DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa menjelaskan, saat ini aturan mengenai pemilu, yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, partai politik, serta pemilihan kepala daerah, masih memiliki undang-undang sendiri. Oleh karena itu, nantinya tidak menutup kemungkinan saat membahas RUU Pemilu pada awal tahun 2026 akan dilakukan metode kodifikasi terhadap ketiga UU tersebut. Metode kodifikasi sudah pernah dilakukan ketika membahas UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kodifikasi itu terbukti berhasil menggabungkan beberapa UU. Metode kodifikasi, menurut Saan, dimungkinkan dilakukan, apalagi Undang-Undang Pilkada masih satu rumpun dan masuk dalam rezim pemilu. Bahkan, para penyelenggara pilkada juga sama dengan penyelenggara pemilu dan itu sudah ditegaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan, pembahasan revisi UU terkait kepemiluan tidak akan dilakukan dengan metode omnibus law. Sejauh ini, Komisi II DPR masih terus menjaring masukan publik terkait revisi UU Pemilu tersebut. Masukan publik itu penting dalam menyusun naskah akademik dan draf RUU Pemilu tersebut.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Muhammad Nur Ramadhan mendorong pembahasan RUU Pemilu dan produk hukum yang berkaitan dengan menggunakan metode kodifikasi. Penggabungan dan penyelarasan pengaturan pemilu, pilkada, dan partai politik ini menjadi pilihan utama dibandingkan metode omnibus.