Pemerintah Diminta Tunda Pemekaran Papua

Amnesty Internasional Indonesia meminta agar pemerintahan Presiden Jokowi menunda pemekaran wilayah daerah otonom baru (DOB) di Papua dan Papua Barat. Direktur Amnesty Indonesia, Usman Hamid mengatakan penundaan dilakukan untuk mencegah terjadinya demonstrasi anarkistis lanjutan yang menolak pembagian wilayah baru. Pemerintah punya alasan objektif menunda pemekaran tersebut, karena UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua Jilid II 2021 saat ini sedang dalam proses gugatan pengujian materi di MK yang diajukan MRP. UU Otsus Papua tersebut, menebalkan klausul memecah Papua dan Papua Barat menjadi lima bagian dengan membentuk tiga provinsi baru, yakni Papua Selatan, Papua Barat Daya, dan Papua Tengah.

Menurut Usman, penundaan menjadi solusi sementara bagi pemerintah meredam aksi-aksi protes, sembari membuka ruang dialog dengan warga Papua dan Papua Barat. Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Ones Suhuniap mengatakan, pemerintah harus bertanggung jawab atas kerusuhan berulang yang terjadi. Rangkaian kekerasan di Papua dan Papua Barat tersebut disebabkan keengganan pemerintah mendengar aspirasi masyarakat asli Papua atas masa depan mereka.

Pakar Otonomi Daerah, Prof Djohermansyah Djohan, mengingatkan agar rencana pemekaran Papua didasarkan dengan pertimbangan faktor teknis bukan politis. Untuk Papua, jumlah penduduk belum masuk kategori syarat pemekaran, sedangkan luas wilayah sudah memenuhi persyaratan. Sedangkan, untuk potensi ekonomi di Papua sudah memadai, tetapi tidak bisa secara otomatis langsung mendapatkan dana yang besar. Demikian juga mengenai ketersediaan sumber daya birokrasi yang akan mengelola provinsi pemekaran Papua. Hal ini tidak mudah karena tata kelola birokrasi di Papua termasuk yang terlemah di Indonesia. Persoalan lain adalah kekhususan tanpa melalui daerah persiapan dan tak harus memenuhi syarat dasar maupun administratif.

Search