MK meminta Dewan Perwakilan Rakyat menjelaskan tentang seberapa jauh pergerakan di parlemen dalam merevisi Undang-Undang Pemilu yang diamanatkan oleh beberapa putusan MK. Hal ini disampaikan Wakil Ketua MK Saldi Isra dalam sidang uji materi Pasal 222 UU Pemilu terkait ambang batas pencalonan presiden, Rabu (30/10/2024).
Saldi mengatakan, MK membutuhkan gambaran mengenai seberapa cepat gerak DPR untuk mengadopsi atau menerima kemungkinan-kemungkinan perubahan dalam UU Pemilu. Apalagi, MK sudah secara eksplisit menyatakan bahwa tidak ada perbedaan rezim antara pemilu dan pemilihan kepala daerah atau pilkada. Saldi meminta keterangan tambahan kepada DPR mengenai hal tersebut, karena dari keterangan yang disampaikan, DPR belum menjelaskan tentang proses revisi UU yang dilakukannya.
Dalam persidangan Rabu, MK mendengarkan keterangan dari DPR, Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai Buruh. Partai Buruh dalam keterangan, yang disampaikan oleh Said Salahudin, menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan prinsip keadilan pemilu karena tidak memberikan hak pencalonan yang setara kepada seluruh partai politik peserta pemilu. Partai Hanura berpandangan pengaturan ambang batas jelas telah membatasi pemenuhan hak konstitusi dari partai politik peserta pemilu yang telah mendapatkan suara sah dalam Pemilu, meski tak memiliki kursi di DPR. Sementara itu, Partai Golkar yang diwakili oleh Daniel Febrian Karunia Herpas mengatakan, ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden merupakan kebijakan hukum yang terbuka pembentuk undang-undang.