Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai pengesahan RUU tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) bukan karena prestasi pimpinan DPR atau pimpinan Badan Legislasi, melainkan karena dorongan dan tekanan dari publik. Peneliti senior Formappi, Djadijono, megatkan secara keseluruhan, kinerja legislasi DPR tidak pantas diapresiasi karena dari 40 RUU dalam Prolegnas Prioritas tahun 2022 baru 3 RUU yang dapat disahkan, yakni UU tentang Ibu Kota Negara (IKN), UU tentang Keolahragaan serta UU tentang TPKS. Sementara, masih banyak RUU yang belum diselesaikan, termasuk yang mendesak untuk segera dituntaskan, antara lain Revisi terhadap UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, RUU tentang PDP, serta Revisi terhadap UU tentang Cipta Kerja.
Terkait fungsi pengawasan, Formappi menilai DPR lebih membela kepentingan elite dibandingkan rakyat. Hal itu tampak antara lain Komisi VI yang mendukung penyesuaian harga BBM non-subsidi dan mendesak pemerintah untuk segera menetapkan formula harga pertalite yang tidak merugikan PT Pertamina. DPR juga dinilai tidak peduli dengan situasi keamanan masyarakat sipil di Papua. Demikian pula tentang wacana penundaan pemilu tidak direspons oleh DPR secara kelembagaan dengan cepat.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengatakan, proses pembahasan RUU TPKS menjadi undang-undang menjadi tolok ukur DPR ke depan. Sebab, terjadi kesesuaian kemauan politik antara DPR, pemerintah, beserta masyarakat sipil yang mengawal dan terlibat dalam arti yang luas. Willy juga menyampaikan adanya pergeseran tendensi kerja parlemen di dunia dari kerja legislasi menjadi kerja pengawasan. Kerja pengawasan untuk memastikan undang-undang beserta peraturan turunannya berjalan efektif atau tidak juga tidak kalah penting.