Organisasi masyarakat (ormas) keagamaan diharapkan secara serempak menolak pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dari pemerintah lantaran aktivitas pertambangan merupakan bisnis ekstratif yang merusak alam. Jika ormas keagamaan menerima IUPK, itu sama halnya turut serta dalam praktik merusak lingkungan sehingga bertentangan dengan idealisme ormas. Ketua Presidium PP Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Tri Natalia Urada, menuturkan jika merujuk pada data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) saat ini sebanyak 7.993 izin mineral dan pertambangan (minerba) dengan luas 10.406.060 hektare (ha). Alhasil, operasi ini berdampak pada kerusakan lingkungan yang panjang dan belum dipulihkan.
Atas nama kemajuan ekonomi, pembukaan lahan skala besar justru mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan manusia, kerusakan pangan lokal, terutama sekitar tapak tambang. “Jadi, jika PMKRI turut terlibat dalam urusan tambang, sama halnya kami melestarikan persoalan-persoalan yang ada dan akan sangat paradoks dengan kerja-kerja yang kami lakukan selama ini, yaitu menjaga kedaulatan lingkungan,” tegas Tri Natalia. Dia memperingatkan rencana ini juga akan berisiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan mempertajam ketimpangan sosial. Berdasarkan data KPA, sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektare lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang. “Kami berharap pemerintah menghentikan rencana ini dengan segera merevisi PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara,” tegas Tri.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar, menegaskan iming-iming tambang mendorong kesejahteraan umat juga tidak benar. Dirinya menegaskan IUP Ormas hanya politik balas jasa pemerintah. “Kami mendesak ormas keagamaan untuk tegas menolak konsesi tambang yang diberikan di pemerintahan Jokowi,” tegasnya.