Rupiah masih berisiko melemah terhadap dolar AS di tengah ketidakpastian perang dagang global dan data ekonomi penting yang akan dirilis pekan ini. Meskipun pada pekan lalu rupiah menguat 0,15% secara point-to-point (ptp) dan ditutup di level Rp16.270/US$ pada Jumat (7/2/2025), tekanan eksternal masih besar. Pelemahan indeks dolar AS (DXY) ke level 108 dan peningkatan cadangan devisa RI sebesar US$0,4 miliar menjadi US$156,1 miliar memberikan sedikit dorongan bagi rupiah. Posisi cadangan devisa ini mencukupi kebutuhan impor selama 6,7 bulan dan masih berada di atas standar internasional.
Namun, rupiah masih rentan terhadap volatilitas pasar akibat ketidakpastian perang dagang yang berpotensi meluas dari Meksiko dan Kanada ke Uni Eropa, Taiwan, serta sektor-sektor strategis seperti microchip, migas, dan farmasi. Selain itu, pasar juga menantikan data inflasi AS yang akan dirilis pekan ini, yang dapat berdampak pada kebijakan suku bunga The Fed dan pergerakan dolar AS. Jika inflasi AS lebih tinggi dari perkiraan, dolar bisa kembali menguat, yang berisiko menekan rupiah.
Secara teknikal, rupiah masih dalam fase konsolidasi, dengan potensi penguatan ke level support Rp16.170/US$, yang diambil dari titik terendah intraday pada 24 Januari 2025. Namun, jika tekanan eksternal meningkat, rupiah bisa melemah hingga resistance Rp16.460/US$, berdasarkan titik tertinggi intraday 3 Februari 2025. Dengan situasi ini, investor dan pelaku pasar perlu mencermati perkembangan perang dagang serta data ekonomi AS yang akan mempengaruhi pergerakan rupiah dalam waktu dekat.