Usul perubahan penamaan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dinilai tidak berdampak signifikan tetapi tugas pokok dan fungsinya harus jelas. “Yang terpenting, tupoksi dari DPA ini jelas, karena di masa lalu dibubarkan akibat inefisiensi soal tugas-tugasnya mulai kemampuan menjawab pertanyaan presiden, memberikan nasihat atau masukan, dan memberi pertimbangan diminta atau tidak diminta,” kata Direktur Trias Politika Strategis Agung Baskoro saat dihubungi Kompas.com, Minggu (14/7/2024).
Secara institusional, kata Agung, perubahan nomenklatur dari Wantimpres ke DPA wajar karena sebelumnya pernah tercetus dan marak dibahas ketika wacana Presidential Club mengemuka. Menurut Agung, yang terpenting adalah rencana revisi UU Wantimpres sebaiknya mengutamakan penegasan peran lembaga dan tidak hanya terkesan sebagai ikhtiar bagi-bagi jabatan bagi koalisi pendukung pemerintah. Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) diputuskan dibawa ke dalam rapat paripurna untuk disahkan menjadi usul inisiatif DPR RI.
Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas mengungkapkan, ada beberapa poin perubahan dalam draf RUU Wantimpres. Pertama, nomenklatur Wantimpres disepakati diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Namun, Supratman memastikan bahwa tidak ada perubahan fungsi dari Wantimpres ke DPA. Perubahan kedua terkait jumlah keanggotaan. Dalam UU Wantimpres diatur jumlah anggota mencapai delapan orang. Menurut Supratman, dalam draf RUU Wantimpres, jumlah anggota DPA bakal disesuaikan dengan keputusan presiden terpilih. Hal itu guna mendapatkan orang-orang terbaik sebagai pemberi pertimbangan kepada presiden kelak. Perubahan ketiga menyangkut soal syarat-syarat untuk menjadi anggota DPA. Supratman mengatakan, revisi UU Wantimpres tersebut menyangkut soal kelembagaan. Menurut dia, mereka yang akan menduduki posisi DPA pun tetap berstatus pejabat negara sebagaimana anggota Wantimpres.