Industri teknologi keuangan (financial technology/ fintech) di Indonesia masih menghadapi fenomena tech winter. Tech winter merupakan kondisi kenaikan biaya modal yang memaksa investor untuk memperketat seleksi investasi mereka guna memaksimalkan pengembalian investasi dan menurunkan risiko. Beberapa efek yang ditimbulkan dari tech winter ini adalah efisiensi perusahaan yang berdampak pada adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) di beberapa perusahaan fintech. Laporan Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) Annual Members Survey (AMS) 2022/2023 melaporkan, 20 startup atau perusahaan rintisan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang 2022.
Secara global, tercatat 201.860 karyawan industri teknologi di seluruh dunia terkena layoff atau PHK pada lima bulan pertama 2023. Direktur Katadata Insight Center (KIC) Adek Media Roza mengatakan, dalam riset ditemukan 84 persen responden fintech melakukan PHK atau lay off. Survei yang sama juga mencatat bahwa 76 persen responden tidak berencana untuk menambah atau merekrut tenaga kerja baru dalam waktu dekat. Ia menambahkan, fenomena tech winter menyebabkan pelaku di industri teknologi dan perusahaan startup termasuk fintech lebih fokus bertahan dan melakukan inovasi untuk menghasilkan profit. Sebagai catatan, AMS 2022/2023 melaporkan 64,0 persen perusahaan fintech yang tergabung dalam Aftech baru berdiri dalam kurun waktu 0-5 tahun, atau masih berada dalam fase perusahaan rintisan (startup). Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Pengawas Aftech Rudiantara mengatakan, banyak startup memang melakukan PHK di tengah adanya tech winter ini. Namun begitu, menurut dia jumlahnya masih tidak sebanding dengan PHK yang terjadi pada sektor riil.
Meskipun demikian, ia menceritakan, beberapa fintech misalnya Amartha justru terus merekrut sumber daya manusia (SDM) di tengah badai perusahaan teknologi tersebut. Lebih lanjut, Rudiantara menjelaskan, adanya winter tech membuat perusahaan fintech di bawah Aftech melakukan rekalibrasi bisnis dan efisiensi biaya. Sehingga, nanti kalau sudah spring semua (fintech) akan siap dan semakin resilien. Adapun beberapa katalis yang dapat membuat badai perusahaan teknologi berakhir adalah keluarnya Indonesia dari pandemi Covid-19. Selain itu, berakhirnya sentimen negatif ekonomi global juga akan mempercepat berakhirnya badai perusahaan teknologi.
Senada, Wakil Sekretaris Jenderal II Aftech Firlie Ganinduto menjelaskan, semula perusahaan fintech mengutamakan untuk membesarkan valuasi. Namun demikian, setelah adanya badai yang membuat pendanaan jadi lebih selektif, fintech lebih mengarah pada profitabilitas. Menurut Firlie, ini adalah hal terbaik untuk membuat dunia usaha semakin sehat. Pasalnya ketika awal meledaknya perusahaan startup, terjadi gelembung (bubble) yang membuat perusahaan rintisan lebih mengutamakan valuasi dan tidak merefleksikan kondisi sebenarnya. Firlie menyebut, adanya fenomena layoff di industri fintech disebabkan karena sebelumya perusahaan belum menemukan model bisnis yang tepat. “Menurut saya (badai PHK) hampir selesai, sedikit yang akan melakukan layoff karena tech winter. Justru ke depannya kami harapkan kenaikan rekrutmen,” kata dia. Sebagai informasi, berdasarkan klaster model bisnis pelaku fintech, tiga model bisnis terbesar anggota Aftech adalah pinjaman online sebanyak 102 anggota atau sebesar 30 persen. Setelah itu model bisnis lainnya adalah Inovasi Keuangan Digital (IKD) sebanyak 88 anggota atau sebesar 25,88 persen dan pembayaran digital 40 anggota 11,76 persen.