‘Tsunami’ Kecerdasan Buatan (AI), Antara Berkah dan Musibah bagi Data Center

Adopsi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang mengalir deras seperti ‘tsunami’ tidak serta merta menjadi berkah bagi bisnis pangkalan data atau data center. Tanpa kesiapan infrastruktur yang memadai dan sumber daya mumpuni, AI justru bisa menjadi musibah bagi pemain data center. Dalam acara diskusi panel Explore Data Protection Policies yang digelar di Singapura, Chief Marketing Officer Straits Interactive Alvin Toh mengatakan bahwa negara-negara di Asia Pasifik akan menghadapi ‘tsunami’ AI. Perusahaan-perusahaan besar berlomba untuk menghadirkan solusi AI kepada pelanggan, yang kemudian membutuhkan dukungan infrastruktur teknologi mumpuni dan persyaratan lainnya, termasuk data center.

Statista, perusahaan riset asal Jerman, mengindetifikasi Indonesia sebagai pasar kecerdasan buatan (AI) generatif dengan pertumbuhan tercepat di Asia Tenggara. Ekspansi AI yang masif di negara ini telah membuat AI tumbuh 10 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan 2020 pada 2030 nanti. Statista memperkirakan tingkat pertumbuhan tahunan bisnis AI di Indonesia hampir 30%,dan akan meningkat pasarnya hingga US$1,15 miliar pada 2030 didorong oleh investasi besar Indonesia pada infrastruktur AI dan dorongan kuat menuju digitalisasi di berbagai sektor, termasuk keuangan, kesehatan, dan e-commerce. Sejalan dengan itu dibutuhkan tempat penyimpanan peladen yang mumpuni dan andal, seiring dengan transfer data yang makin cepat di AI.

Sebagai anak usaha PT Telkom Indonesia (persero) Tbk. yang bergerak di bidang data center, Andreuw mengatakan perusahaan senantiasa terbuka bekerja sama dengan perusahaan teknologi lainnya dalam mengembangkan data center AI di Tanah Air. Dia tidak memungkiri bahwa dengan potensi pasar AI yang besar, bisnis data center memiliki peluang untuk tumbuh. Ketua Umum Asosiasi Data Center Indonesia (IDPRO) Hendra Suryakusuma mengatakan berdasarkan data Colliers, pertumbuhan kapasitas energi data center di Indonesia diindikasi akan mencapai sekitar 2,3 gigawatt (GW) pada 2030. Salah satu pertumbuhan itu disebabkan oleh adanya penggunaan terkait AI.

Dengan adanya AI, maka proses menganalisis data yang sebelumnya menggunakan model CPU (centralized processing unit), kini memakai tenaga yang lebih kuat. Sebagai gambaran, jika sebelumnya listrik satu rak membutuhkan rata-rata 6 kilowatt, dengan adanya AI ini satu rak itu bisa sampai 50 kilowatt atau 50.000 watt. Jumlah tersebut sekitar 16 kali lipat lebih besar dari rata-rata kebutuhan listrik rumah di Jakarta hanya sekitar 3.000 watt. Jadi memang ada ada indikasi bahwa pertumbuhan kapasitas energi yang kita serap di industri ini akan sangat cepat. Adapun jika merujuk pada pernyataan terakhir Kementerian ESDM, Indonesia masih mengalami kelebihan pasokan listrik. Namun, jumlah pasokan tersebut terus berkurang di tengah adopsi AI yang meningkat.

Search