Ketegangan antara Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky makin meningkat setelah Trump menyebut pemimpin Ukraina itu sebagai “diktator tanpa pemilu”. Komentar ini muncul setelah Zelensky membalas pernyataan Trump yang sebelumnya menuduh Ukraina bertanggung jawab atas invasi penuh Rusia pada 2022. Zelensky menyatakan bahwa Trump telah terjebak dalam gelembung disinformasi Rusia. Menanggapi pernyataan tersebut, Menteri Luar Negeri Ukraina Andrii Sybiha menegaskan bahwa negaranya tidak akan dipaksa untuk menyerah. “Kami akan mempertahankan hak kami untuk eksis,” tulisnya di platform media sosial X.
Masa jabatan lima tahun Zelensky sebenarnya berakhir pada 2024. Namun, Ukraina memberlakukan hukum darurat militer sejak Februari 2022, sebagai respons terhadap invasi Rusia. Di bawah hukum darurat ini, pemilihan umum tidak dapat diselenggarakan, termasuk pemilihan presiden dan parlemen. Sementara itu, Rusia terus memperluas wilayah pendudukannya. Hingga kini, Moskow telah menguasai sekitar 20% wilayah Ukraina dan perlahan memperluas cengkeramannya di bagian timur. Pernyataan Trump yang menyebut Zelensky sebagai diktator langsung mendapat kecaman dari berbagai pemimpin dunia.
Zelensky, dalam upayanya mencari dukungan dari AS, telah mengusulkan hak eksklusif bagi perusahaan-perusahaan AS untuk mengeksploitasi sumber daya mineral Ukraina sebagai imbalan atas jaminan keamanan dari Washington. “Amerika telah memberikan Ukraina US$67 miliar dalam bentuk senjata dan US$31,5 miliar untuk dukungan anggaran. Tetapi permintaan Trump agar kami memberikan US$500 miliar dalam bentuk sumber daya mineral bukanlah pembicaraan yang serius,” kata Zelenskiy. “Saya tidak bisa menjual negara saya,” ujarnya.