Dengan kemenangan besar Donald Trump dalam pemilu AS, Asia kini tengah bersiap menghadapi ketidakpastian baru terkait aliansi dan perdagangan. Masa jabatan kedua Trump, yang diproyeksikan akan lebih agresif dalam menjalankan kebijakan “Amerika yang utama,” membawa ancaman terhadap stabilitas hubungan kawasan tersebut dengan AS, terutama dalam perdagangan dan diplomasi. Pada masa jabatan pertamanya (2016-2020), Trump mengambil langkah-langkah yang melanggar kebijakan luar negeri AS yang konvensional, termasuk melancarkan perang dagang dengan China.
Trump menjalin hubungan langsung dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong Un serta Presiden Taiwan saat itu, Tsai Ing-wen. Kini, Trump berjanji untuk memperluas agenda proteksionisnya, berencana menaikkan tarif hingga 60 persen pada impor dari China, yang dapat memperparah ketegangan bilateral. Hal ini, akan berdampak besar di kawasan Asia yang memiliki ekonomi dengan ketergantungan tinggi pada perdagangan.
Kebijakan tarif Trump berpotensi memengaruhi banyak negara di Asia, yang memiliki ekonomi berbasis ekspor. Negara-negara di Asia Tenggara, yang rata-rata memiliki rasio perdagangan terhadap PDB sebesar 90 persen, sangat mungkin terdampak tarif umum sebesar 10-20 persen yang diusulkan Trump. Oxford Economics bahkan memproyeksikan Asia non-China bisa mengalami penurunan ekspor sebesar 8 persen dan impor sebesar 3 persen di bawah kebijakan Trump yang paling konservatif.