Masyarakat global saat ini dihadapkan pada masalah kelangkaan pangan dan energi akibat perang dan perubahan iklim. Kalau melihat peringatan para ahli mengenai iklim, kelangkaan pangan belum akan berakhir dalam waktu dekat. Mencermati kondisi tersebut, setiap negara berlomba-lomba mewujudkan kemandirian pangan. Karena mengandalkan perdagangan pangan dunia untuk mencukupi kebutuhan pangan, apalagi bagi negara dengan jumlah penduduk sebesar Indonesia, akan sangat riskan.
Dewan Penasihat Institut Agroekologi Indonesia (Inagri), Ahmad Yakub, mengatakan masyarakat sebenarnya menaruh harapan besar pada Badan Pangan Nasional. Badan tersebut memiliki kewenangan menyusun jalan rencana strategis (renstra) pangan secara nasional dan diturunkan sesuai kebutuhan serta daya dukung daerah untuk menuju kemandirian dan kedaulatan pangan. Sayangnya, sudah setahun berjalan, publik belum mendengar renstra, apalagi langkah kuat untuk mengurangi impor pangan dan meningkatkan produksi pangan substitusi impor.
Ekonom dan Co-Founder Dewan Pakar Institute of Social Economics and Digital (ISED), Ryan Kiryanto, mengatakan transisi pangan dan transisi energi diperlukan untuk meredam krisis yang terjadi di tingkat global sehingga dapat membangkitkan perekonomian nasional. Ryan mengatakan transisi pangan dapat dilakukan melalui diversifikasi pangan, yakni mendorong masyarakat agar memvariasikan makanan pokok yang dikonsumsi dengan tidak fokus pada satu jenis saja. Dengan begitu, apabila kehabisan stok beras, pemerintah tidak perlu mengekspor bahan pokok jenis itu karena sudah tersedia makanan pokok jenis yang lain. Selain itu, juga diperlukan modernisasi pada sektor pertanian sehingga dapat meningkatkan kapasitas panen dan membuat tanaman dapat bertahan hidup dalam kondisi cuaca apa pun.