Pertahanan udara Indonesia dinilai bisa mengalami kerentanan jika TNI Angkatan Udara tidak segera menutupi penurunan kekuatan selama proses retrofit jet tempur yang tersedia, dan menanti unit baru pesawat tempur Dassault Rafale yang masih dalam produksi. Menurut peneliti pertahanan dan keamanan Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, jika TNI AU tidak bisa menutupi celah kekosongan karena sejumlah pesawat yang dipensiunkan, sementara jet tempur baru belum tiba, maka bisa berakibat pada kekuatan tempur.
Fahmi mengatakan, memang ada sejumlah langkah yang bisa dilakukan TNI AU supaya kekuatan tempur mereka tidak terlampau menurun sebelum unit jet tempur baru tiba. “Mungkin solusi yang bisa dilakukan adalah dengan mengakuisisi pesawat-pesawat tanpa awak sebagai langkah transisi, drone dan sebagainya. Meningkatkan kemampuan radar kita,” ucap Fahmi. “Ini kan bisa lebih cepat realisasinya. Sehingga kerentanan tadi bisa sedikit diatasi di tengah menurunnya kekuatan udara karena ada sejumlah pesawat yang harus dipensiun,” sambung Fahmi.
Fahmi mengatakan, kondisi yang dialami TNI AU dan juga matra lain adalah akibat dari target pencapaian kekuatan pokok minimum (MEF) yang meleset pada 2004 dan 2019. Ketika Indonesia hendak mengakselerasi buat menutupi kekurangan itu, kata Fahmi, muncul pandemi Covid-19 di seluruh dunia yang membuat pemerintah melakukan realokasi dan penataan ulang anggaran. Sebelumnya diberitakan, penundaan pembelian 12 jet tempur Dassault Mirage 2000-5 bekas dari Qatar disampaikan Juru Bicara Kementerian Pertahanan Dahnil Anzar. “Karena ada keterbatasan fiskal, maka rencana pembelian pesawat Mirage 2000-5 tersebut ditunda,” kata Dahnil dalam keterangannya, Kamis (4/1/2023).