Upaya penangkapan tersangka terorisme dr. Sunardi di Sukoharjo, Jawa Tengah pada pekan lalu berujung pada tewasnya target. Menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel, yang sampai saat ini menjadi pertanyaan adalah mekanisme untuk menguji tuduhan tersangka tindak pidana terorisme yang disampaikan Polri terhadap dr. Sunardi. Menurut Reza, jika Indonesia menerapkan proses pengadilan anumerta (posthumous trial), diharapkan akan ada kepastian status para terduga teroris yang tewas dalam proses penangkapan di mata hukum.
Pengadilan anumerta adalah persidangan yang digelar setelah kematian terdakwa. Persidangan anumerta dapat diadakan karena berbagai alasan, seperti: deklarasi hukum bahwa terdakwa adalah orang yang melakukan kejahatan, memberikan keadilan bagi masyarakat atau anggota keluarga korban, dan bisa juga untuk membebaskan orang yang dihukum setelah kematian mereka. Karena biaya yang mahal, proses pengadilan anumerta biasanya diadakan hanya dalam keadaan luar biasa. Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan menegaskan Sunardi sudah berstatus tersangka terorisme dan bukan terduga.
Perwakilan keluarga dr. Sunardi, Endro Sudarsono, mengatakan, pihak keluarga menyayangkan sikap Densus 88 yang melakukan penembakan hingga mengakibatkan dr. Sunardi meninggal dunia. Endro yang menjabat sebagai Sekretaris The Islamic Study and Action Center (ISAC) Surakarta, menuturkan, atas kejadian ini, pihak keluarga bakal melakukan upaya hukum. Hal itu dilakukan karena pihak keluarga terduga teroris tidak meyakini bahwa dr. Sunardi terlibat dalam jaringan terorisme.