Petani padi yang jumlahnya sekitar 15 juta orang sedang menelan pil pahit. Kebijakan perberasan nasional menjadikan mereka sebagai anak tiri, sedangkan konsumen sebagai anak emas. Selama lima tahun terakhir, petani hanya menerima harga gabah yang rendah dan turun. Padahal, harga sarana produksi terus naik, terutama harga pupuk, pestisida, upah buruh, serta sewa alat dan mesin pertanian (alsintan).
Harga gabah kering panen (GKP) tingkat petani sebesar Rp 4.619 per kilogram periode 2016-2017, merosot menjadi Rp 4.589 per kilogram periode Januari 2021 hingga April 2022. Sedangkan pertumbuhan harga GKP bulanan menjadi negatif 0,48 persen. Bandingkan dengan pertumbuhan bulanan harga GKP periode 2011-2015, yaitu positif 0,69 persen. Harga beras sangat stabil, terjadi di pasar grosir beras ataupun pasar eceran. Konsumen sangat diuntungkan. Tingkat stabilisasi harga beras yang diukur dengan coefficient of variation sangat rendah, hanya 1,2 persen periode Januari 2021 hingga April 2022, sedangkan periode 2016-2017, misalnya, mencapai 4,4 persen.
Pil pahit itu adalah buah dari penerapan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) beras sejak September 2017. Harga beras tingkat grosir atau beras eceran nyaris tidak bergerak dalam dua tahun terakhir. Banyak penggilingan padi, terutama penggilingan padi kecil (PPK), bangkrut, tutup usaha. Sebagian besar (94 persen) penggilingan padi adalah penggilingan padi kecil (PPK).
Dalam kaitan dengan itu, diharapkan pemerintah meninjau ulang kebijakan HET, diganti dengan harga langit-langit (ceiling price} sebagai acuan stabilisasi harga beras. Kebijakan harga langit-langit tidak mengikat masyarakat luas, hanya Bulog yang terikat. Tanpa koreksi kebijakan HET, petani padi akan terus terpuruk, seperti yang telah dijalaninya selama lima tahun terakhir.