Sejumlah akademisi memperkirakan Indonesia akan sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap menuju ke negara berpendapatan tinggi atau maju. Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, di Jakarta, Kamis (2/11), mengatakan sulitnya RI melangkah lebih tinggi menjadi negara maju karena aktivitas produksi yang tidak efisien. Selain itu, pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sektor-sektor tertentu saja, serta rumah tangga terlalu konsumtif dan terlalu banyak impor.
“Negara-negara yang terjebak dalam middle income trap umumnya menghadapi tantangan ekonomi yang membuat mereka kesulitan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Indonesia mungkin saja terjebak dalam middle income,” ujar Eugenia. Untuk keluar dari jebakan tersebut, masyarakat Indonesia harus lebih banyak berproduksi dan menurunkan impor. “Ekspor harus menjadi orientasi dalam perencanaan ekonomi,” katanya.
Direktur Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan Indonesia sulit keluar dari middle income trap karena pertumbuhan ekonominya rata-rata hanya 5 persen. Padahal threshold negara maju (high income) juga bergerak maju sesuai perkembangan inflasi, pertumbuhan penduduk dan nilai tukar. “Jadi bisa nggak tumbuh minimal 6 persen secara konsisten? Itu syarat agar kita keluar,” kata Tauhid. Selain itu, sektor manufaktur di saat yang sama perlu tumbuh minimal 12 persen atau dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi secara umum karena hanya dengan pertumbuhan manufaktur yang tinggi, pengangguran bisa terserap. BPS mencatat tingkat penyerapan tenaga kerja di industri pengolahan menjadi ketiga tertinggi sebesar 14,17 persen dari total penduduk bekerja (153,50 juta orang) atau sekitar 19 juta orang.