Penerapan kecerdasan buatan atau artificial intelligence/AI berbasis crawling atau pengambilan data masif dari internet kian mengancam industri media. Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Mustafa Layong menjelaskan, teknologi crawling AI, seperti AI Overview milik Google, menandai lompatan besar dari sekadar pengindeksan konten menjadi sistem yang lebih canggih, masif, dan analitis. Sejak teknologi ini muncul, trafik pembaca media daring menurun drastis karena hal yang dicari khalayak langsung dirangkum oleh sistem tersebut. Peningkatan penggunaan crawling AI menimbulkan kekhawatiran, misalnya, terkait hak cipta dari data atau informasi, termasuk dari produk jurnalistik yang dirangkum tanpa izin.
Secara hukum, Mustofa menilai, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta belum memberikan perlindungan eksplisit terhadap karya jurnalistik, terutama untuk berita tulis. Pasal 43C UU itu menyebutkan bahwa pengambilan berita aktual tidak dianggap pelanggaran hak cipta. Namun, batasan “aktual” adalah berita yang dipublikasikan dalam waktu 3 x 24 jam, di luar itu tidak boleh diambil tanpa izin. Mustofa menekankan, pengambilan data oleh AI yang menurunkan trafik media jelas merugikan pencipta secara ekonomi, sehingga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta.
Anggota Komite Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Jurnalisme Berkualitas atau Komite Publisher Rights, Sasmito Madrim menambahkan, pengambilan data masif untuk AI bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga pelanggaran etika karena AI mengandalkan hasil kerja manusia tanpa memberikan atribusi atau kompensasi. Sejak dibentuk September 2024, Komite Publisher Rights sudah menjembatani kerja sama antara puluhan perusahaan pers dengan berbagai platform digital.
