Setelah muncul Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang digawangi Golkar, PPP, dan PAN, sejumlah parpol mulai menjajaki mitra koalisi. Berbagai konsolidasi internal pun dilakukan dengan menggelar Rakernas atau Rapimnas. Pada Juni 2022 ini, ada tiga partai yang melakukan konsolidasi internal, yaitu Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan PDI Perjuangan. Namun, dari tiga parpol, baru Nasdem yang secara terang-terangan menentukan nama bakal calon presiden yang akan diusung pada Pilpres 2024.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menilai momen rakernas adalah momentum partai untuk persiapan memasuki Pemilu 2024. Kondisi ini dilakukan agar tidak ketinggalan ‘sekoci’ saat poros-poros koalisi terbentuk. Selain itu, rakernas merupakan mekanisme partai dalam menentukan manuver pada Pemilu 2024, yang bisa membawa implikasi politik di Pemilu 2024. Misalnya, Partai Nasdem yang berani mengumumkan kandidasi akan mengunci langkah partai lain dari sisi akseptabilitas atau elektabilitas yang mungkin tidak dirasakan partai lainnya. Strategi yang diterapkan partai juga mengkalkulasikan kepentingan pemenangan pemilu legislatif. Pembentukan koalisi yang ideal adalah perlu mengkalkulasi apakah nama yang diusung layak dan membawa efek positif bagi partai.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo, memandang bahwa aksi partai politik dalam pertemuan antar-ketua umum maupun rakernas adalah upaya untuk berstrategi dalam menghadapi pemilu, serta mencari efek ekor jas dari pencapresan. Misalnya, Gerindra tengah membangun upaya untuk mendapat efek tersebut. Namun, tidak semua partai bisa mendapatkannya, misalnya PKS yang sulit mendapat efek karena minim kader dengan ketokohan yang kuat. Aksi Partai Nasdem dengan deklarasi kandidasi membawa efek positif karena ada timbul asosiasi logika publik terhadap ketiga bakal capres yang diumumkan. Langkah partai politik dalam mencari efek elektoral adalah untuk mendapatkan benefit sebesar-besarnya dengan biaya politik kecil dalam Pemilu 2024. Kondisi ini semakin menguntungkan karena sudah tidak ada petahana. Apalagi, publik Indonesia mayoritas lebih memilih tokoh dalam pemilu daripada partai. Kalau pun ada yang memilih partai, pemilih tersebut adalah loyalis partai.