Inflasi hijau alias green inflation (greenflation) berpotensi dialami Indonesia di sektor ketenagalistrikan, utamanya atas potensi lonjakan harga listrik akibat transisi energi yang terlalu dipaksakan. Secara umum, greenflation merupakan fenomena inflasi atau kenaikan harga secara drastis akibat suatu aktivitas investasi berkaitan energi terbarukan. Kepala Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov menggambarkan bahwa greenflation sebenarnya bukan soal transisinya, tetapi seberapa tepat kebijakan itu diambil pada suatu masa atau kondisi. Sebagai contoh, dalam konteks pembangkit listrik, greenflation bisa dipicu kebijakan beralih ke pembangkit energi baru terbarukan (EBT) secara sembarangan, serta ketika sembrono dalam menghentikan operasi PLTU berbasis batu bara. “Istilah greenflation disinggung itu bagus karena di Indonesia sudah ada potensinya. Terutama, soal oversupply listrik, dimana ketika transisi energi terus digenjot tanpa mendongkrak permintaan, ini hanya akan jadi beban bagi biaya penyediaan listrik,” jelasnya. Sebagai gambaran, surplus pasokan listrik di Indonesia masih sekitar 4 gigawatt (GW). Sementara itu, realisasi konsumsi listrik sepanjang 2023 pun hanya 1.285 kWh per kapita, sangat rendah ketimbang rata-rata konsumsi listrik di kawasan Asean sebesar 3.672 KWh per kapita.