Penelitian terbaru yang diterbitkan Jumat (19/5), menunjukkan kerugian akibat cuaca ekstrem terkait El Nino, seperti gagal panen, banjir, kebakaran hutan, dan kerusuhan sipil, sebenarnya jauh lebih tinggi, dapat menelan dana hingga triliunan dollar AS. Itu karena akuntansi konvensional gagal mengenali kekurangan “persisten” dalam produk domestik bruto yang terurai selama beberapa tahun dan lebih sulit untuk diidentifikasi. Makalah tersebutg dibuat oleh ilmuwan sistem Bumi, Dartmouth Christopher Callahan dan Justin Mankin dalam jurnal Science.
Pusat Prediksi Iklim Amerika Serikat pada awal Mei menaikkan peluang lebih dari 90 persen bahwa pola cuaca El Nino akan terbentuk di akhir 2023. Siklus yang terjadi setiap beberapa tahun ini dapat membawa segalanya mulai dari cuaca panas dan kering di Australia, kebakaran hutan di Indonesia, hujan di Afrika Timur, musim badai Atlantik, badai salju musim dingin di timur laut AS, dan suhu panas yang mematikan terumbu karang. Dengan suhu dunia 1,2 derajat Celsius lebih panas dari sebelum industrialisasi, El Nino sekarang secara praktis menjamin rekor panas, dan Organisasi Meteorologi Dunia PBB memberikan peluang 98 persen bahwa salah satu dari lima tahun ke depan akan menjadi rekor terpanas.
Callahan dan Mankin berfokus pada pertanyaan yang lebih luas daripada langsung, kerusakan cuaca yang terlihat: Bagaimana variabilitas iklim mempengaruhi pertumbuhan ekonomi? El Nino memberi mereka semacam eksperimen alami untuk menyelidikinya, periode perubahan diskrit dengan ekor panjang yang dapat mereka lacak melalui data tahun-tahun berikutnya. Analisis baru menggunakan model yang menggabungkan pertumbuhan ekonomi dan variabilitas iklim dari 1960 hingga 2019 dan membandingkan pertumbuhan PDB di seluruh dunia sebelum dan sesudah peristiwa El Nino. Mereka menemukan dampak yang kuat pada 1997 dan 1998 telah memukul mundur PDB dunia menjadi 5,7 triliun dollar AS, dan El Nino tahun 1982/1983 mengurangi pertumbuhan sebesar 4,1 triliun dollar AS.