Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewaspadai surplus neraca perdagangan Indonesia yang berada dalam tren menurun. Sebagaimana diketahui, neraca perdagangan Indonesia pada Maret 2024 mencatatkan surplus sebesar US$4,47 miliar, melonjak dari surplus pada bulan sebelumnya yang sebesar US$0,87 miliar. Meski demikian, jika diakumulasikan, surplus neraca perdagangan pada Januari hingga Maret 2024 tercatat sebesar US$7,31 miliar, jauh menurun dibandingkan periode yang sama pada 2023 yang sebesar US$12,11 miliar. “Penurunannya US$4,8 miliar, ini cukup besar. Namun, Indonesia masih menikmati kondisi neraca perdagangan yang surplus,” katanya, dikutip pada Minggu (28/4/2024).
Sri Mulyani mengatakan, kondisi sirplus pada Maret 2024 dipengaruhi oleh kontraksi yang lebih dalam pada impor sebesar -12,8% secara tahunan, dibandingkan dengan kontraksi ekspor sebesar -4,2% secara tahunan. Menurutnya, kinerja ekspor konsisten berada dalam tren pertumbuhan negatif, dari yang sebelumnya tumbuh sangat tinggi pada 2022 dan awal 2023. Sementara itu, kinerja impor masih volatil meski cenderung terkontraksi. “Jadi dari sisi faktor eksternal, neraca pembayaran dan neraca perdagangan, kita harus mewaspadai dan memonitor secara detail perkembangan dari neraca pembayaran dan neraca pembayaran, karena ini mempengaruhi kinerja ekonomi, penerimaan, dan APBN kita,” jelas Sri Mulyani.
Sri Mulyani mengatakan bahwa kondisi neraca perdagangan Indonesia juga dipengaruhi salah satunya harga komoditas yang volatil, yang tidak hanya disebabkan oleh pelemahan ekonomi global, tetapi juga dipengaruhi oleh disrupsi rantai pasok akibat masalah geopolitik di global. Sri Mulyani mencontohkan, harga minyak Brent yang sempat mencapai level US$120 per barel pada 2022, saat ini berada pada level US$88 per barel, meski mengalami kenaikan sebesar 14,3% secara tahun berjalan (year-to-date/YtD). Lebih lanjut, CPO yang sempat menyentuh level hampir US$1.800 per ton pada 2022, mengalami penurunan hingga ke level saat ini US$850,6, meski tumbuh 6,0% secara YtD. Sri Mulyani menambahkan, batu bara juga mengalami penurunan, dari level di atas US$400 per metrik ton menjadi US$129 per metrik ton. Secara tahun berjalan, harga komoditas ini mengalami penurunan sebesar 11,9%.