Kondisi ekonomi Sri Lanka semakin memburuk membuat negara tersebut menutup sekolah dan menghentikan layanan pemerintahan pada Senin (20/6). Penutupan sekolah dan kantor pemerintahan ini dilakukan untuk menghemat cadangan bahan bakar yang hampir habis, di tengah rencana IMF soal kemungkinan bailout. Negara berpenduduk 22 juta orang itu mengalami krisis ekonomi terburuk setelah kehabisan devisa untuk membiayai impor sejumlah komoditas termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan.
Sri Lanka juga menghadapi rekor inflasi tinggi dan pemadaman listrik yang berkepanjangan sehingga memancing protes selama berbulan-bulan yang disertai desakan agar Presiden Gotabaya Rajapaksa mundur. Polisi menangkap 21 aktivis mahasiswa yang memblokir semua gerbang ke gedung sekretariat presiden. Sri Lanka diketahui gagal membayar utang luar negerinya sebesar US$51 miliar. Negara itu kemudian berbicara dengan IMF yang telah meminta Kolombo untuk menaikkan pajak dan merestrukturisasi perusahaan negara yang merugi.
Australia mengumumkan bantuan darurat senilai US$$35 juta untuk memenuhi kebutuhan pangan dan perawatan kesehatan yang mendesak di negara tersebut. Sebelumnya, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) juga melakukan upaya tanggap darurat untuk memberi makan ribuan wanita hamil yang menghadapi kekurangan pasokan makanan di Sri Lanka. PBB mengatakan empat dari lima orang di negara itu mulai tidak bisa makan karena mereka tidak mampu membayar harga makanan yang tinggi. PBB mengatakan kondisi ini memperingatkan krisis kemanusiaan yang mengerikan dengan jutaan orang membutuhkan bantuan.