Guna menjawab tantangan penyediaan pangan yang makin berat di tengah gejolak geopolitik serta dampak perubahan iklim, Indonesia menempuh jalan substitusi, khususnya untuk sejumlah komoditas pangan impor. Namun, langkah ini membutuhkan peta jalan yang harus disusun bersama serta komitmen untuk mewujudkannya. Kendati laju inflasi di Indonesia dinilai terkendali, Wakil Presiden (Wapres) RI Maruf Amin menilai, penyediaan pangan menghadapi tantangan yang kian berat karena gangguan produksi dan distribusi. Konflik geopolitik turut mendongkrak harga pangan serta memicu krisis pangan global. Selain itu, perubahan iklim makin sulit diprediksi. Hal itu jadi tantangan yang harus dihadapi bersama.
Menurut Wapres, agar sektor pertanian makin kuat serta dapat diandalkan guna mengendalikan inflasi dan menghadapi krisis pangan dunia, Kementerian Pertanian perlu mengidentifikasi komoditas pangan yang tepat dan fokus mendorong pengembangannya, termasuk penetapan target produksi dan lokasinya. Selain mendorong produktivitas dan produksi pangan, upaya lain yang perlu ditempuh adalah mengendalikan penyusutan lahan pertanian. Wapres juga mendorong diversifikasi pangan melalui pengembangan hulu-hilir pangan lokal. Upaya ini perlu ditopang dengan riset.
Demi memperkuat ketahanan pangan Indonesia dalam menghadapi ancaman krisis, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo inenyatakan, substitusi impor menjadi salah satu strategi. Contoh bahan pangan yang masih diimpor ialah ganduin, gula berbasis tebu, dan daging sapi. Terkait arahan itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Kasdi Subagyono memerinci, gula berbasis tebu bisa disubstitusi dengan gula nontebu, seperti stevia, lontar, aren, ataupun batang sorgum. Daging sapi dapat disubstitusi dengan daging ayam, itik, kambing, atau domba. Indonesia mengimpor gandum setidaknya 11 juta ton tiap tahun, 9 juta ton untuk pangan dan sisanya untuk pakan. Gandum bisa disubstitusi dengan singkong, sorgum, dan sagu dalam bentuk tepung. Kasdi mengatakan, strategi substitusi impor itu didesain dalam peta jalan dengan jangka waktu 2-3 tahun. Selain dari APBN, pembiayaannya akan mengandalkan investasi dan kredit usaha rakyat.
Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rush Abdullah, langkah substitusi impor patut diapresiasi lantaran dapat men’ggerus ketergantungan Indonesia terhadap pangan impor yang rentan terdampakgejolak geopolitik. Namun, substitusi pangan impor membutuhkan peta jalan yang tertuang dalam regulasi setara peraturan pemerintah atau peraturan presiden karena melibatkan beragam stakeholder (pemangku), ujarnya saat dihubungi. Menurut dia, pemerintah sebaiknya mendesain skema insentif bagi pelaku industri yang memanfaatkan bahan pangan lokal dan selaras dengan upaya mendongkrak tingkat komponen dalam negeri.