Permintaan pangan yang makin besar di masyarakat membuat industri kuliner tumbuh. Akibatnya, ancaman pada sistem keamanan pangan nasional meningkat. Untuk itu, sistem pengawasan pangan harus diperkuat dengan harmonisasi lintas pemangku kepentingan lebih baik. Kebijakan terkait penanggung jawab regulasi dan pengawas keamanan pangan masyarakat diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2019 tentang Keamanan Pangan. Terkait pengawasan pangan, produk pangan yang diawasi adalah jenis pangan segar, pangan olahan industri besar, pangan olahan industri rumah tangga, dan pangan siap saji. Pengawasan produk pangan segar dari hewan dan tumbuhan dilakukan Kementerian Pertanian, sedangkan pangan segar dari perikanan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pangan olahan industri besar berada di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sedangkan pangan olahan industri rumah tangga dan pangan siap saji ada di Kementerian Kesehatan. Pengawasan di lapangan dijalankan pemerintah daerah.
Direktur Penyehatan Lingkungan Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anas Maruf, mengutarakan, pengawasan pangan siap saji berbasis risiko. Frekuensi pengawasan akan dilakukan sesuai status risiko dari tempat pengelolaan pangan (TPP). Jika TPP berisiko tinggi, pengawasan dua kali setahun. TPP berisiko sedang diawasi setahun sekali. TPP berisiko rendah diawasi dua tahun sekali. Risiko ini ditentukan berdasarkan profil pangan olahan, mitigasi bahaya pada pangan, skala bisnis, dan riwayat ketidaksesuaian inspeksi. TPP wajib memiliki sertifikat laik higiene sanitasi (SLHS) atau label pengawasan dan pembinaan. Kewajiban SLHS diperuntukkan bagi TPP jenis jasa boga, restoran, depot air minum, dan TPP tertentu seperti industri tahu dan tempe. Untuk label pengawasan dan pembinaan diwajibkan bagi rumah makan, gerai pangan jajanan, gerai pangan jajanan keliling, dan sentra jajanan atau kantin. Dengan memiliki SLHS, TPP itu memenuhi syarat inspeksi kesehatan lingkungan. Hasil laboratoriumnya memenuhi syarat keamanan pangan serta negatif dari boraks, formalin, rhodamine B, dan methanol yellow.
TPP yang punya label pengawasan higiene sanitasi pangan menunjukkan tempat itu mendapat penyuluhan keamanan pangan siap saji. Petugas inspeksi dari pemerintah daerah bisa melakukan pemeriksaan laboratorium pada sampel pangan yang dijual untuk menjamin keamanan pangan. TPP yang memiliki SLHS wajib memasang sertifikat itu di tempat yang mudah terlihat pengunjung. Jika TPP memakai wadah kemasan pangan, nomor SLHS harus dicantumkan di kemasan itu agar warga mudah melihat tanda tersebut. Namun, penerapan kewajiban SLHS tidak optimal. Per Desember 2022, dari 222.804 TPP yang terdaftar, 59 persen atau 131.460 TPP memenuhi syarat laik higiene sanitasi. Hanya 2,47 persen atau 5.496 TPP yang memiliki SLHS. Kementerian Kesehatan mengeluarkan standar laik higiene sanitasi, tetapi SLHS diterbitkan pemerintah daerah. Pemerintah daerah berperan besar mendorong TPP di daerahnya agar mendapat SLHS. SLHS penting sebagai bukti jaminan mutu kesehatan tempat pengelolaan pangan, seperti restoran, jasa boga, dan depot air minum. Dengan demikian, penyakit bawaan makanan dan kasus keracunan makanan bisa dicegah. Kementerian Kesehatan mencatat, kasus kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan pada 2022 terbanyak ditemukan pada TPP untuk masakan rumah tangga (28,13 persen), jasa boga atau katering (18,7 persen), dan pangan jajanan sckolah (9,3 persen). Kasus KLB keracunan pangan terbanyak terjadi di Jawa Barat (970 kasus), Jawa Tengah (316 kasus), Jawa Timur (299 kasus), dan Sulawesi Selatan (198 kasus).