Dalam diskusi bertajuk ”Memahami Sistem Pemilu dari Perspektif Ilmu Pengetahuan dan Referensi Pelaksanaan di Berbagai Negara di Dunia”, pada Rabu (7/6/2023), sejumlah narasumber menyatakan bahwa pilihan soal sistem pemilu proporsional terbuka ataupun tertutup bukanlah isu konstitusional. Penentuan sistem pemilu termasuk variabel teknis kepemiluan dan bukan hal yang konstitusional ataupun tidak konstitusional. Penentuan sistem pemilu bukan kewenangan MK karena masuk dalam variabel teknis pemilu yang diatur undang-undang. Hakim konstitusi diharapkan dapat konsisten menetapkan sistem pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka. Artinya, penentuan sistem pemilu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR.
Guru Besar Ilmu Politik Unair, Ramlan Surbakti, mengingatkan mendesain sistem pemilu tidak hanya berorientasi pada mencari dan mempertahankan kekuasaan. Pemilihan sistem pemilu harus didasarkan sistem politik demokrasi yang cocok dengan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, hal-hal seperti sistem kepartaian, sistem perwakilan politik, efektivitas pemerintahan, dan perilaku memilih harus diperhatikan dalam menentukan sistem pemilu. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, mengatakan perubahan sistem pemilu umumnya dilakukan atas evaluasi yang mendalam, bukan melalui proses uji materi.
Uji materi sistem pemilu sempat menimbulkan kegaduhan lantaran muncul isu MK akan mengembalikan ke sistem proporsional tertutup, tetapi partai-partai politik serta bakal caleg tetap bersiap untuk menghadapi pemilu. Kepala Kelompok Fraksi Partai Nasdem Komisi II DPR, Aminurokhman, menambahkan komitmen parpol untuk memperjuangkan sistem pemilu tetap proporsional terbuka tak hanya dilakukan melalui persiapan bakal caleg. Di Komisi II DPR, fraksi-fraksi juga memastikan desain peraturan yang dibuat oleh penyelenggara pemilu dibuat dalam kerangka sistem pemilu proporsional terbuka.