Peneliti IC), Egi Primayogha, mengatakan potensi konflik kepentingan dalam pemilihan penjabat kepala daerah sangat besar karena hanya ada satu pihak yang menentukan, yakni pemerintah pusat melalui Kemendagri. Jika proses tidak dilakukan secara terbuka dan menihilkan ruang partisipasi publik, potensi penyelewengan akan kian besar. Penyelewengan yang mungkin terjadi ialah praktik jual beli jabatan oleh ASN calon penjabat kepala daerah dengan menawarkan uang kepada pihak yang berwenang menentukan penjabat agar dirinya dipilih.
Implikasi dari penyelewengan adalah terjadinya praktik korupsi yang lebih besar, karena ASN yang dipilih akan berpikir untuk balik modal saat menjadi penjabat. APBD dikorupsi. Bisa juga penjabat itu berkongkalikong dengan pengusaha, memuluskan perizinan ataupun memberikan proyek tertentu, dengan imbalan suap. Oleh karena itu, diharapkan ada pengawasan dari penegak hukum dalam proses pemilihan penjabat. Selain itu, dibutuhkan mekanisme pemilihan yang transparan dan partisipatif.
Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri, Agus Fatoni, menuturkan bahwa saat ini mekanisme perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah sudah terintegrasi dengan Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) di Kemendagri. Hal ini dapat menutup celah bagi para penjabat kepala daerah dan pejabat lainnya untuk bermain anggaran. Selain Kemendagri, sejumlah pihak juga ikut mengawasi anggaran di daerah. Pertama, pengawas internal yang meliputi inspektorat daerah serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kedua, pengawas eksternal, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Ketiga, pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Keempat, aparat penegak hukum, yakni KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Terakhir, media serta masyarakat.