Sinyal Transaksi Politik dalam Revisi UU Desa

Ribuan kepala dan aparatur desa memadati Jalan Gatot Subroto, pada Rabu (5/7/2023) siang. Tak sampai tiga jam, unjuk rasa untuk menyampaikan sejumlah poin usulan revisi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa itu berakhir. Di sela-sela unjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR, 11 kades keluar barisan untuk menemui pimpinan DPR. Pembicaraan tersebut berlangsung selama 12 menit. DPR menjanjikan akan segera mengirimkan usulan pembahasan RUU Desa kepada pemerintah begitu rapat paripurna menyepakati revisi regulasi itu menjadi RUU inisiatif DPR.

Ketua Umum Apdesi Surta Wijaya kemudian menegaskan, para kades membutuhkan kepastian akan adanya revisi UU Desa. Bagi Apdesi, ada 13 poin perubahan yang mesti masuk dalam RUU Desa. Di antaranya perpanjangan masa jabatan kades menjadi sembilan tahun dan bisa menjabat selama tiga periode serta peningkatan alokasi dana desa menjadi 10 persen dari APBN. Selain itu, penghasilan bagi kades, Badan Permusyawaratan Desa, dan perangkat desa yang bersumber dari dana desa serta tunjangan purnatugas yang dihitung berdasarkan durasi menjabat.

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes, melihat sinyal transaksi politik antara anggota DPR dan kades terlihat kuat dalam proses perumusan RUU Desa. Selain pembahasan yang dilakukan tiba-tiba di tengah tahapan pemilu, durasi yang singkat, gimik yang ditunjukkan kedua pihak juga memperlihatkan hal tersebut. Kades memiliki pengaruh politik di tingkat lokal dalam banyak hal, maupun instrumen politik untuk memengaruhi pilihan pemilih, di antaranya karena memegang kendali distribusi bantuan sosial. Kepala dan aparatur desa juga berperan strategis dalam pemilu, karena biasanya mereka menjadi pihak yang dilibatkan sebagai petugas di tempat pemungutan suara, baik sebagai kelompok penyelenggara pemungutan suara maupun saksi.

Search