Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, Apa Saja Kebijakan Politik Luar Negeri yang Perlu Dicermati?

Setahun pertama masa kepemimpinan Presiden Prabowo ditandai dengan iklim politik internasional yang penuh instabilitas. Sejak awal dilantik, Prabowo harus menyikapi dua konflik besar yang berlarut-larut, yakni Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina. Tantangan lain muncul dari kebijakan agresif Presiden Amerika Serikat Donald Trump, terutama soal tarif. Lebih lanjut, Presiden Prabowo juga harus berhadapan dengan dilema polaritas. Indonesia seperti ”dipaksa” untuk memilih merapat ke blok China atau AS dan negara-negara Barat. Dilema ini termanifestasi dalam pilihan-pilihan aliansi ekonomi dan politik keamanan.

Terdapat sejumlah capaian yang berhasil dilakukan setahun ke belakang. Pertama adalah berhasil melakukan negosiasi dengan AS untuk menurunkan tarif tambahan atas barang impor dari Indonesia. Meski belum sepenuhnya ideal, penurunan tarif ini tetap perlu diapresiasi. Capaian kedua yang menarik untuk dicatat dari aktivitas presiden di lingkungan global adalah masuknya Indonesia ke aliansi BRICS. Walaupun ada sejumlah kritikan terhadap langkah tersebut, masuknya Indonesia ke aliansi besar ini tetap bisa meningkatkan posisi tawar Indonesia di panggung dunia. Presiden Prabowo pun tampak cukup aktif untuk melakukan agenda-agenda diplomasi selama menjabat. Setidaknya, Presiden Prabowo telah melakukan 35 agenda kunjungan luar negeri sepanjang setahun terakhir.

Masih ada sejumlah catatan kritis yang perlu diperhatikan dalam hal kebijakan luar negeri Indonesia. Salah satunya adalah posisi Indonesia dalam isu Palestina. Presiden Prabowo memberikan pernyataan yang kontroversial soal penyelesaian konflik Israel-Palestina dalam pidatonya di depan Sidang Majelis Umum PBB, yang secara implisit menyatakan posisi Indonesia yang mendukung solusi dua negara (two state solution). Selain secara historis terbukti nyaris tidak mungkin, argumen two state solution ini menafikan fakta status Israel sebagai penjajah dalam konflik tersebut. Selain soal Gaza, muncul kesan bahwa masuknya Indonesia ke BRICS dan negosiasi dengan AS, dilakukan secara sentralistis dengan tangan besi Presiden Prabowo. Padahal, ranah kebijakan internasional membutuhkan penalaran yang panjang dan kerja-kerja diplomatik yang dibangun melalui birokrasi yang kuat.

Search