Serapan Tenaga Kerja Melemah

Kendati nilai investasi dalam beberapa tabun terakhir ini terus melejit, penciptaan lapangan kerja justru turun signifikan. Reformasi struktural lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan berbagai langkah deregulasi dan kemudahan bagi dunia usaha belum membuahkan hasil optimal. Data Kementerian Investasi, sejak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja disahkan pada November 2020, realisasi investasi meningkat dari Rp 826,3 triliun pada 2020 menjadi Rp 901,2 triliun pada 2021 dan Rp 1.207,2 triliun pada 2022. Namun, kenaikan realisasi investasi itu belum selaras dengan penciptaan lapangan kerja. Dengan realisasi investasi yang naik 33 persen pada 2022 itu, penyerapan tenaga kerja hanya bertambah 8 persen dari 1.207.893 orang pada 2021 menjadi 1.305.001 orang pada 2022. Angka serapan tenaga kerja itu masih jauh dari target 2,7 juta-3 juta penciptaan lapangan keija per tahun yang dipasang pemerintah saat mengeluarkan UU Cipta Kerja.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W Kamdani membenarkan hal itu. Sebagai perbandingan, pada 2013, investasi senilai Rp 1 triliun masih bisa menyerap sampai 4.594 tenaga kerja. Jumlah itu menurun dari waktu ke waktu. Pada 2016, Rp 1 triliun investasi hanya bisa menyerap 2.271 orang. Pada 2021, investasi Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 1.340 orang. Menurut Shinta, data tersebut menunjukkan dua hal. Pertama, investasi yang masuk mayoritas bersifat padat modal dan teknologi. Kedua, penyerapan tenaga kerja di sektor formal terus menurun. Angkatan kerja yang membeludak lebih banyak terserap di sektor informal. Penciptaan lapangan kerja itu sekarang sudah menurun drastis, hampir sepertiga dari beberapa tahun yang lalu. Shinta menyebutkan, hal itu terjadi karena investor me!ihat kenaikan biaya usaha semakin menjadi beban yang akan menentukan arah investasi mereka. Investor melihat beban usaha ini jadi komponen penting saat menentukan investasi mereka, salah satunya memang beban terkait ketenagakerjaan. Berbagai kemudahan dan fleksibilitas yang sudah diberikan pemerintah melalui UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja (kini Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja) diakui belum terbukti bisa mendongkrak investasi padat karya. Itu karena beban ketenagakerjaan yang dimaksud tidak hanya dari sisi permintaan (demand) tenaga kerja, seperti kebijakan pengupahan. Beban ketenagakerjaan ini juga datang dari sisi penawaran (supply), yakni dalam bentuk tantangan perbaikan keterampilan dan produktivitas tenaga kerja yang dinilai belum sejalan dengan kebutuhan industri. Di sisi lain, tekanan kepada sektor padat karya juga muncul dalam bentuk permintaan ckspor yang menurun di tengah gejolak ekonomi global pascapandemi Covid-19. Sampai November 2022, sektor padat karya dalam negeri sudah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada 919.071 orang. Ini kaitannya dengan demand ekspor yang sudah turun. Penurunan ekspor, seperti di sektor alas kaki dan sepatu, turunnya sudah hampir 50 persen, kata Shinta.

Peneliti Center of Trade, Industry, and Investment di Intitute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, menilai, UU Cipta Kerja belum memberi dampak signifikan terhadap realisasi investasi, apalagi terhadap penciptaan lapangan kerja. Padahal, seharusnya kehadiran undang-undang itu, kan, bisa mempercepat investasi dan menambah lapangan kerja, tetapi ternyata kondisinya sekarang masih sama saja seperti sebelum undang-undang itu ada. Bah kan, menurun jauh dari beberapa tahun lalu. Saat ini kinerja investasi yang tinggi lebih karena Indonesia secara fundamental telah memiliki daya tarik investasi yang besar bagi para penanam modal. Daya tarik utama ini berupa sumber bahan baku yang melimpah dan pasar yang besar. Selama pemerintah bisa menjaga daya beli masyarakat Indonesia tetap tinggi, pasar kita akan tetap menarik investor untuk datang, ujar Heri. Ia berpendapat, ketimbang insentif dan stimulus, investor padat karya sebenamya lebih membutuhkan adanya ekosistem industri yang matang di dalam negeri. Ketika ekosistem sudah kuat, rantai pasok hulu-hilir akan lebih efektif. Hal itu bisa jauh lebih menekan biaya produksi tinggi yang selama ini dikeluhkan pengusaha padat karya. Dalam beberapa penelitian di kawasan industri, investor mengaku alasan mau mendirikan pabrik di situ karena di kawasan itu sudah ada perusahaan yang dapat menjadi pemasok bahan baku untuknya. Insentif itu justru alasan nomor sekian, yang penting ekosistem industri sudah terbentuk dulu, tutur Heri. Meski dampaknya sejauh ini belum signifikan, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi tetap meyakini, kehadiran UU Cipta Kerja dapat mendorong penciptaan lapangan kerja lebih banyak. Caranya adalah dengan mendongkrak pertumbuhan ekonomi hingga di atas 6 persen. Kalau pertumbuhan ekonomi kita hanya 4-5 persen, tidak akan cukup kuat untuk menciptakan banyak kesempatan keija baru. Secara statistik, ekonomi kita itu harus tumbuh di atas 6 persen. Ini yang melatarbelakangi desain UU Cipta Kerja. Semua persoalan harus diselesaikan secara holistik untuk inemastikan ekonomi kita tumbuh 6 persen ke atas, ujarnya

Search