Selain berjibaku dengan penerapan cukai untuk produk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) yang berdampak pada kenaikan harga produk, industri makanan dan minuman (Mamin) Indonesia saat ini juga dihadapkan kepada potensi cukai pangan olahan. Potensi ini terbuka sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2023 tentang Kesehatan disahkan. Adapun pemerintah berwenang menetapkan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai undang-undang tersebut. “Selain penetapan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian isi ayat (4) Pasal 194 ayat (1) Peraturan Perundang-undangan (PP) Kesehatan, seperti dikutip pada Senin (19/08).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman menambahkan selain pasal 194 ayat (1), terdapat juga Bagian Kedelapan dalam PP tersebut yang terkait dengan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM). “Kita tidak dibolehkan menggunakan bahan yang menyebabkan penyakit tidak menular. Nah, penyakit tidak menular ini kan harus didefinisikan jelas,” kata Adhi. Ia menambahkan, jika kandungan Gula-Garam-Lemak (GGL) dianggap dapat memicu penyakit tidak menular artinya gula garam lemak tidak boleh dipakai dalam industri mamin. “Jadi, kalau GGL dianggap penyebab penyakit PTM, sehingga dicukai, otomatis kita tidak boleh pakai. Kalau kita tidak boleh pakai terus cukainya buat apa?” tanyanya. Adhi mengatakan jika dilihat dari persentase konsumsi, pengeluaran penduduk perkapita untuk makanan minuman produk pangan olahan banyak berkontribusi 30%, sedangkan 70%-nya adalah kontribusi dari pangan rumah tangga.