Program Sekolah Rakyat resmi dimulai di 63 titik di seluruh Indonesia pada 14 Juli 2025. Program ini menyasar anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem, yang rawan putus sekolah, untuk mendapatkan pendidikan gratis berbasis asrama di bawah naungan Kementerian Sosial. Meski disambut positif, sejumlah pengamat menyoroti potensi dampak psikologis karena anak-anak harus berpisah dari keluarga. Kisah Hani dari Kupang menggambarkan beratnya perpisahan dengan ibunya, Maria, yang tetap mendukung demi masa depan anaknya, meski penghasilannya sebagai kader posyandu hanya Rp150.000 per bulan.
Kisah serupa juga dialami keluarga Nur’Aini di Padang dan Yulianah di Jakarta. Dengan penghasilan yang pas-pasan dan tanggungan anak lainnya, mereka merasa terbantu oleh fasilitas penuh dari Sekolah Rakyat, seperti asrama, makan tiga kali sehari, hingga layanan kesehatan 24 jam. Informasi mengenai program ini mereka peroleh dari pendamping PKH atau petugas Dinas Sosial yang mendatangi rumah dan menanyakan kesiapan anak untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Rakyat.
Meskipun sempat ada kekhawatiran terkait konsep asrama, sebagian orang tua merasa tenang setelah mendapat penjelasan lengkap dari petugas. Bagi keluarga seperti Arni Rennamah di NTT yang berpenghasilan di bawah Rp1 juta per bulan, Sekolah Rakyat menjadi solusi konkret untuk memastikan anaknya tetap bisa bersekolah. Banyak dari mereka berharap program ini mampu membuka jalan bagi anak-anak mereka untuk mencapai cita-cita, sekaligus keluar dari lingkaran kemiskinan yang telah lama membelenggu.