Hingga saat ini masalah buruknya kualitas udara di DKI Jakarta masih belum menemukan solusi jangka panjang. Padahal setiap hari, DKI Jakarta rutin masuk dalam urutan teratas kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Pada Senin (20/8/2023) pagi, kualitas udara di DKI Jakarta tercatat jadi yang terburuk nomor enam di dunia. Dikutip dari laman IQAir pukul 05.00 WIB, US air quality index (AQI US) atau indeks kualitas udara di DKI Jakarta tercatat di angka 158. Indeks pengukuran global ini dimulai dari titik 0 di ujung paling bawah dan dapat melebihi 300 di ujung paling atas. Semakin tinggi nilai AQI, semakin tinggi tingkat polusi udara dan semakin tinggi risiko udara terhadap kesehatan kita. Adapun konsentrasi polutan tertinggi dalam udara DKI Jakarta hari ini yakni PM 2.5. Konsentrasi polutan tersebut 14 kali nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO).
Sebagai solusi, baik pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi DKI Jakarta satu suara lewat kebijakan pengurangan emisi dari sektor transportasi. Dasar kebijakan tersebut berasal dari data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dua tahun lalu. Sektor transportasi menjadi penyumbang polusi udara pertama, yakni 44 persen, diikuti sektor industri 31 persen, manufaktur 10 persen, perumahan 14 persen, dan komersial 1 persen. Untuk mengurangi emisi kendaraan, Pemprov DKI Jakarta menetapkan sistem work from home untuk para ASN, mulai 21 Agustus – 21 Oktober 2023. Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan, penerapan WFH hanyalah solusi jangka pendek dari masalah pencemaran udara Jakarta. Padahal selain padatnya kendaraan bermotor, keberadaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batubara juga jadi kontributor emisi di Jakarta dan sekitarnya.
Kepala Divisi Pengendali Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Fajri Fadhillah menjelaskan, keberadaan PLTU turut jadi sumber polutan di Jakarta. Setidaknya ada 16 PLTU berbasis batu bara yang berada tak jauh dari Jakarta. Berdasarkan sebarannya, sebanyak 10 PLTU berlokasi di Banten, sedangkan enam PLTU di Jawa Barat. “Apalagi sumber pencemar tidak bergerak seperti industri dan pembangkit listrik yang biasanya menggunakan cerobong tinggi untuk buang emisi,” kata Fajri. Adapun tujuan penggunaan cerobong itu, kata Fajri, untuk menyebarkan emisi agar tidak terpusat di area dekat pembangkit atau industri tersebut. “Emisi yang tersebar itu bukan hilang, tapi terbawa ke banyak arah tergantung kondisi meteorologis dan geografis tadi,” ungkap Fajri. “Bahkan bisa terbawa ke tempat yang jaraknya di atas 100 kilometer dari posisi cerobong tersebut,” lanjutnya.