Kementerian Luar Negeri RI memanggil perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jakarta buntut teguran hingga kritikan organisasi itu soal pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru pekan lalu. “Mengapa kami memanggil? Karena ini merupakan salah satu tata hubungan dalam berdiplomasi, ada baiknya adab yang berlaku adalah dalam interaksi perwakilan asing atau PBB di suatu negara ada jalur komunikasi untuk membahas berbagai isu. Jadi kita tidak menggunakan media massa sebagai alat untuk menyampaikan satu hal yang belum diverifikasi,” kata juru bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah.
Faizasyah menuturkan sebaiknya PBB tidak secara terburu-buru mengeluarkan pernyataan sebelum mendapat informasi yang jelas. “Justru kesempatan untuk bertemu Kemlu menjadi kesempatan bagi mereka sebagai perwakilan diplomatik menyampaikan pandangan mereka dan kita akan jawab. Ada norma sepatunya dilakukan perwakilan di suatu negara,” kata Faizasyah.
Selain mengkritik, PBB bahkan telah mengirim surat berisi kekhawatiran dan masukan terhadap Indonesia terkait RKUHP pada akhir November, sebelum DPR RI mengesahkan menjadi undang-undang. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, mengakui telah menerima surat PBB itu. Namun, menurutnya surat tersebut sudah terlambat. “Surat kami terima 25 November, 2022, dan itu tidak ke pemerintah melainkan Komisi III DPR,” kata Omat. Ia juga mengatakan dalam surat itu, PBB menawarkan bantuan terutama pasal-pasal yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi dan persoalan hak asasi manusia.