Pernyataan pemerintah dalam berbagai kesempatan yang mengingatkan akan perlunya kewaspadaan menghadapi tahun 2023 mendatang menjadi sinyal kalau Indonesia juga belum siap menghadapi tiga tantangan ekonomi global. Ketiga tantangan tersebut yakni kenaikan harga pangan, beban utang negara, dan beban karena kenaikan suku bunga terutama bank-bank sentral global. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 270 juta jiwa lebih, jika tidak menemukan formula yang tepat menghadapi tiga tantangan tersebut maka bukan tidak mungkin bisa membawa Indonesia kembali menjadi negara miskin.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Brawijaya, Malang, Munawar Ismail, mengingatkan bahwa kenaikan harga pangan, kenaikan suku bunga negara-negara dan utang yang besar dapat menjadi beban menghadapi ancaman krisis yang lebih dalam. Selain itu, utang yang ditarik selama ini belum sepenuhnya dibelanjakan untuk kegiatan produktif, karena sebagian untuk investasi seperti infrastruktur yang butuh waktu untuk dirasakan hasilnya. Begitu juga dengan utang akan semakin berat karena kurs rupiah terus melemah. Meskipun belum ada tanda-tanda gagal bayar, pemerintah harus sangat hati-hati mengelola utang dan harus mengarahkan ke utang yang produktif. Sementara itu, sektor pertanian belum bebas dari impor yang juga dibeli dengan valuta asing (valas). Petani harus jalan dengan cost produksi yang naik dari pupuk dan kebutuhan lainnya, membuat mereka sulit bertahan. Ini semua akan menjadi tantangan berat untuk melalui ancaman resesi ke depan.
Peneliti Ekonomi Indef, Nailul Huda mengatakan tahun depan memang masih sangat gelap dan belum ada gambaran bakal seperti apa ekonomi global. Jika the Fed masih progresif menaikkan suku bunga acuan, rupiah bisa jatuh lebih dalam dari posisi sekarang. Kondisi itu sangat bergantung dari inflasi yang terjadi. Harga energi dan harga pangan yang semakin mahal akan semakin meningkatkan suku bunga acuan. Apalagi, dollar AS masih menjadi mata uang acuan. Bank sentral negara lain pasti meningkatkan suku bunga acuan secara agresif juga. Kondisi tersebut memicu perlambatan ekonomi dunia dan pada akhirnya membuat ekspor-impor dan investasi turun. Sebab itu, yang perlu dijaga adalah daya beli masyarakat harus dijaga. “Konsumsi rumah tangga harus dipertahankan ditambah ‘boost’ dari pemerintah dengan mengoptimalkan belanja negara,” ujar Nailul. Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, menegaskan pemerintah harus menyiapkan mitigasi risiko menghadapi tekanan ekonomi global ke depan. Prinsip kehati hatian dalam mengelola anggaran APBN terutama untuk agenda-agenda besar. Resesi global yang bakal melanda AS dan Eropa tidak akan membuat Indonesia terhindar, apalagi jika harga komoditas turun. Sentimen proteksionis akan merugikan ekspor Indonesia termasuk perlambatan ekonomi Tiongkok. Oleh karenanya, sangat penting untuk menjaga disiplin fiskal karena akan menghadapi badai yang bisa saja lebih besar daripada pandemi.