Revisi UU Kementerian hingga UU Wantimpres Tak Libatkan Publik, Apa Dampaknya?

Setengah bulan menjelang jabatannya berakhir, Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2024 membahas rancangan undang-undang dengan begitu cepat guna merevisi tiga undang-undang. Ketiga undang-undang yang direvisi tanpa partisipasi publik ialah RUU Kementerian Negara, UU Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dan RUU Keimigrasian. Aspirasi masyarakat dinilai tidak signifikan karena aturan yang dibuat mengatur soal kewenangan presiden. Ketiganya tinggal menanti pengesahan dalam rapat paripurna pada Kamis (19/9/2024). Sepanjang pekan lalu, 10-12 September, Badan Legislasi DPR dan pemerintah menuntaskan pembahasan tiga RUU tersebut hingga disepakati dalam pembicaraan tingkat I untuk dibawa ke rapat paripurna.

Pada RUU Kementerian Negara dan RUU Wantimpres, wewenang presiden kian besar, bahkan termasuk “super”. Batasan-batasan yang sebelumnya ada, yakni 34 untuk kementerian dan 9 untuk Wantimpres, akan tidak berlaku. Presiden kian leluasa menentukan jumlah pembantunya sesuai kebutuhan. Sementara RUU Keimigrasian, salah satunya melonggarkan larangan terhadap orang yang diduga terlibat tindak pidana untuk pergi ke luar negeri. Dalam RUU tersebut, pemerintah dan DPR sepakat bahwa orang yang masih berstatus sebagai terduga atau orang dalam penyelidikan pidana boleh bepergian ke luar negeri. Pencegahan dilakukan terhadap orang yang sudah masuk dalam penyidikan dan penuntutan.Sepanjang 10-12 September 2024, Baleg DPR dan pemerintah menuntaskan pembahasan RUU Kementerian Negara, RUU Wantimpres, dan RUU Keimigrasian. Setiap RUU dibahas dalam waktu sehari dengan menghabiskan waktu total sekitar tiga jam. Dalam setiap pembahasan, tidak ada satu pun perwakilan dari unsur masyarakat yang dilibatkan untuk menyampaikan aspirasi. Padahal, RUU yang dibahas, khususnya RUU Kementerian dan RUU Wantimpres, menjadi sorotan publik dalam beberapa bulan terakhir karena memberikan kewenangan penuh kepada presiden untuk menentukan jumlah kementerian dan anggota Wantimpres.

Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (13/9/2024), mengatakan, proses legislasi yang tak melibatkan publik hanya menjadi politik bagi-bagi kekuasaan untuk menjamin pihak yang merasa berjasa bisa mendapatkan posisi di pemerintahan mendatang. Masyarakat dihadapkan pada koalisi besar yang harus diakomodasi.  Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, mengatakan, legislasi yang demikian itu menyalahi aturan mengenai partisipasi publik yang dijelaskan pada Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pembentuk undang-undang juga melanggar putusan Mahkamah Konstitusi soal partisipasi publik bermakna yang telah diadopsi dalam UU No 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-pndangan. Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Yance Arizona, mengatakan, di tengah situasi ini, jalan yang masih bisa diambil oleh publik adalah meminta MK untuk menguji formil sejumlah undang-undang yang tidak dibahas dengan partisipasi masyarakat bermakna. Hal itu krusial karena dalam beberapa waktu terakhir konsultasi publik tidak dilakukan.

Search