Sejumlah akademisi meminta agar revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, tak hanya terbatas pada pasal-pasal yang diusulkan pemerintah. Hal ini disampaikan pada rapat yang membahas revisi UU ITE dengan Komisi I DPR, di Kompleks Parlemen (25/1/2023). Saat ini, revisi difokuskan untuk mengubah sejumlah pasal yang meresahkan publik karena kerap digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Karena itu, pemerintah hanya mengusulkan sembilan pasal direvisi plus penambahan pasal.
Pengajar hukum teknologi UI, Edmon Makarim, salah satu yang hadir dalam rapat dengan Komisi I DPR, mengusulkan agar revisi UU ITE diperluas. Revisi UU ITE juga diharapkan bisa mendefinisikan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) dengan lebih tegas, agar tidak hanya mencakup operator aplikasi saja, namun pula vendor yang membuat aplikasi itu. Perluasan itu agar pembuat aplikasi bisa dimintai pertanggungjawaban ketika aplikasinya tak berjalan. Ketua Cyber Law Center Fakultas Hukum Unpad, Sinta Dewi, juga mengusulkan perluasan revisi UU ITE, terutama untuk menjawab permasalahan seperti perundungan daring (cyber bullying), penguntitan daring (cyber stalking), dan doxing atau perilaku menyebarkan informasi pribadi seseorang ke dunia digital. Pakar telekomunikasi dan informatika, Onno W Purbo, juga berpendapat bahwa UU ITE yang kini berlaku belum optimal dalam mencegah kejahatan siber.
Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Abdul Kharis Almasyhari, menjelaskan, masukan dari para pakar membuat terang problem dalam UU ITE. Meski demikian, pihaknya belum bisa memastikan apakah revisi yang dilakukan akan tetap terbatas sesuai usulan pemerintah atau bisa diperluas ke pasal lain.