Minimnya pasokan sapi lokal turut menjadi pemicu lonjakan harga daging sapi di dalam negeri. Pemerintah didorong merancang rencana peningkatan jumlah pembibitan dan penggemukan sapi di Indonesia. Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, Nanang Purus Subendro, menyatakan sekitar 63 persen dari total sapi lokal dimiliki oleh peternak kecil. Tipikal kepemilikannya hanya satu sampai tiga ekor dan dikerjakan secara sambilan. Para peternak tersebut umumnya tidak menghitung biaya seperti tenaga kerja, penyusutan kandang, hingga pakan, sehingga harga jual sapi di pasar rendah. Dalam jangka panjang, Nanang menyebutkan skema bisnis tersebut sulit berkembang ataupun bertahan.
Para peternak yang mulai berumur kesulitan mencari penerus karena bisnisnya kurang menguntungkan. Faktor lainnya adalah, mayoritas generasi muda memilih bekerja di perkotaan. Untuk meningkatkan populasi sapi mereka, peternak membutuhkan modal yang besar untuk tenaga kerja, kandang, dan pakan. Terlebih, sejak akhir tahun lalu, harga pakan melonjak sekitar 20 persen. Menurut Nanang, peternak rakyat sulit meningkatkan produktivitas, meski pemerintah sudah memiliki berbagai program, seperti kredit usaha rakyat.
Berkaca pada kondisi tersebut, Nanang berpendapat peningkatan pasokan sapi dalam skala korporasi sangat dibutuhkan. Pemerintah disarankan menugasi perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) maupun swasta untuk mendampingi peternak rakyat. Dengan demikian, peternak bisa dilatih sesuai dengan prosedur standar. Biaya yang dikeluarkan juga bisa terdata rapi. Sinergi antara perusahaan pemilik lahan yang luas, seperti perkebunan, dan peternak sapi juga bisa menjadi solusi. Di Australia, salah satu kunci keberhasilan bisnis peternakan adalah lahan yang luas. Setiap 1 hektare lahan hanya diisi dua hingga empat sapi agar rumput yang menjadi pakan tersedia sepanjang tahun. Dengan begitu, biaya bisa ditekan.