Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko masih belum menyerah mencoba mengambil alih Partai Demokrat. Bahkan, walaupun sudah kalah 16 kali, Moeldoko masih terus mengajukan PK untuk merebut Partai Demokrat. Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan, apa yang dilakukan oleh Moeldoko sudah menuai kritik keras sejak lama. Hal ini tidak ada kaitan dengan langkah penjegalan Anies Baswedan sebagai capres di Pilpres 2024.
Kondisi serupa sebenarnya terjadi pula di PPP dalam kasus Djan Faridz vs Romi maupun di Golkar dalam kasus Bakrie vs Agung Laksono. Dalam kasus PPP, Romi dimenangkan, sedangkan dalam kasus Partai Golkar dimunculkan sosok Setya Novanto. Refly mengaku prihatin, semua itu menunjukkan begitu mudah partai politik kita diobok-obok. Tidak cuma Partai Demokrat, kondisi itu dapat dilakukan kepada partai-partai senior seperti PPP. Bahkan, dapat dilakukan kepada parpol sebesar Partai Golkar yang sebenarnya cukup mapan dan selalu jadi yang teratas.
Menurut Refly, apa yang dilakukan Moeldoko itu salah bukan karena demi Anies, tetapi demi demokrasi. Masalahnya, PK tidak ada batas waktu. Bisa saja nanti tiba-tiba ketika pendaftaran capres dibuka kemudian PK itu dikabulkan, yang berdampak Partai Demokrat menarik dukungan kepada Anies Baswedan. Untuk itu, perlu dibangun sistem politik dan demokrasi sehat. Jadi, rekrutmen kepemimpinan harus terbuka, kompetisi terbuka dan sirkulasi kepemimpinan harus bisa sehat. Untuk jangka pendek, diharapkan Mahkamah Agung tidak mengabulkan PK, jangan sampai demokrasi ditentukan yuristokrasi saja, harus betul-betul berdemokrasi.