Kementerian Kesehatan mencatat, hingga 20 Maret 2024, sebanyak 171 petugas pemilu dilaporkan meninggal dunia di fasilitas kesehatan pemerintah. Jumlah petugas pemilu yang meninggal dunia itu di antaranya 87 orang KPPS, 40 orang Perlindungan Masyarakat (Linmas), 16 petugas pemilu lainnya, 10 saksi, 9 orang PPS, 8 orang Bawaslu, dan 2 orang Panitia Pemilihan Kecamatan. Direktur Pelayanan Kesehatan Primer Kementerian Kesehatan, Obrin Parulian, mengatakan 30 persen yang meninggal dunia itu adalah petugas pemilu yang berusia 51 tahun-60 tahun. Padahal, sesuai aturan, usia maksimal penyelenggara ad hoc adalah 55 tahun.
Untuk mencegah agar situasi serupa tidak terulang di kemudian hari, terutama perhelatan pilkada serentak 2024 pada November mendatang, Parulian menyarankan kepada penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, untuk taat dan patuh pada syarat administratif khususnya syarat batasan umur. Ia menyarankan agar penyelenggara pemilu melibatkan generasi muda seperti mahasiswa, yang tidak memiliki atau bahkan hanya sedikit memiliki faktor risiko kesehatan.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pramono Ubaid Tanthowi, menduga kematian petugas pemilu disebabkan oleh sejumlah faktor, di antaranya beban pekerjaan yang berat, rekrutmen sumber daya manusia (SDM), manajemen krisis yang kurang, serta jaminan sosial. Pramono mengatakan pekerjaan berat ujung tombak penyelenggaraan pemilu itu seharusnya bisa dikelola lebih baik lagi. Misalnya, jika usulan KPU untuk membuat penghitungan suara dua panel bisa disetujui DPR dan diterapkan. KPU memang sempat mengusulkan penghitungan suara dua panel, tetapi ditolak oleh Komisi II DPR.