Hingga hari ini, kasus kematian anak dengan gangguan ginjal akut progresif atipikal demikian penamaan lengkapnya masih tinggi. Sampai 26 Oktober 2022, tercatat 269 kasus di 34 provinsi di seluruh Indonesia Dari jumlah itu, terdapat 157 kasus kematian atau 58,3 persen dari total. Angka kematian di atas 50 persen dan luasnya area kasus membuat banyak kalangan mendorong pemerintah menetapkan hal ini sebagai kejadian luar biasa (KLB). Namun, pemerintah beranggapan KLB untuk penyakit menular.
Memang definisi KLB ada dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit Menular. Menurut Pasal 22, penetapan KLB berdasarkan pertimbangan epidemiologis, sosial budaya, keamanan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dampak malapetaka di masyarakat. Ukuran ini jelas bisa diterapkan pada gangguan ginjal akut meski tidak menular.
Dalam peraturan disebutkan beberapa jenis penyakit menular yang bisa rriemicu KLB. Kenyataannya, Covid-19 yang belum ada di peraturan 2014 itu juga bisa menjadi KLB. Dengan kata lain, dorongan untuk menetapkan gangguan ginjal akut anak sebagai KLB ada dasarnya, sekaligus jadi harapan masyarakat agar pemerintah memperlakukan penyakit ini dengan pedoman KLB: membentuk tim gerak cepat di tingkat pusat-provinsi-kabupaten/kota untuk deteksi dini, respons, pelaporan, dan rekomendasi penanggulangan.
Kementerian Kesehatan, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan, serta pelbagai pihak terkait memang telah melakukan segala upaya. Dari mitigasi, standardisasi penatalaksanaan kasus, penemuan pencemar berbahaya pada sirop pelarut obat anak dan korelasinya dengan gangguan ginjal akut, hingga ditariknya obat-obatan yang diduga mengandung pencemar. Namun, di sisi lain, penyebab pasti sejak kasus melonjak luar biasa dua bulan terakhir masih misterius. Bagaimana menjelaskan kesaksian orangtua yang menyatakan anaknya tidak minum obat sirop sama sekali, kasus hanya terjadi di Indonesia dan Gambia, atau tiadanya kasus di India yang menjadi sumber bahan baku obat terbesar di Indonesia?
Artinya, perlu penelitian epidemiologi menyeluruh agar bisa menjelaskan pola penyebaran penyakit, kejadian terkait, faktor yang berperan, dan cara pengendaliannya. Rakyat berhak mendapatkan penjelasan, apa yang sebenarnya terjadi. Apakah cara pembuatan obat di Indonesia yang tidak standar? Minimalnya pemeriksaan kualitas produksi? Atau perilaku masyarakat yang gemar mengobati diri sendiri? Kita bersyukur bantuan obat 200 vial Fomepizole sudah datang dan siap diedarkan. Kita berharap semoga tidak ada lagi penambahan kasus ataupun angka kematian. Namun, pemerintah berkewajiban menginformasikan duduk soal dan melakukan pencegahan agar kejadian tidak berulang.