Wacana yang memunculkan kembali pedoman pembangunan nasional yang mirip “model GBHN” disambut positif oleh publik. Namun, respons ini juga dibarengi oleh kekhawatiran karena harus ditempuh melalui amandemen konstitusi. Pilihan amandemen ini dikhawatirkan akan diboncengi oleh agenda perpanjangan masa jabatan presiden. Hal ini tergambar dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas akhir Maret 2022.
Meskipun menyambut positif gagasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), tidak semua responden setuju gagasan ini segera diwujudkan dalam waktu dekat, karena cenderung diboncengi muatan politis yang kuat. Sementara itu, keberlanjutan pembangunan menjadi aspek yang paling dipertimbangkan oleh kelompok responden yang mendukung rencana penetapan PPHN dalam waktu dekat. PPHN dinilai bisa menjadi jaminan bagi pemerintah menyelesaikan pembangunan, terutama proyek-proyek infrastruktur vital, seperti jalan tol dan pembangunan Ibu Kota Negara. Kecenderungan ini searah dengan tendensi pembangunan yang terputus setiap kali terjadi pergantian rezim pemerintahan. Namun, persoalan PPHN bukan terletak pada penting tidaknya, melainkan bagaimana proses penetapannya. Sejauh ini, muncul wacana bahwa MPR akan memilih jalan amandemen UUD 1945 dibandingkan dengan opsi-opsi lain.
Amandemen UUD 1945 untuk PPHN berpotensi mengubah relasi kelembagaan. Dengan kewenangan menetapkan PPHN, MPR bisa kembali menjadi lembaga dengan kewenangan tertinggi di Indonesia. Negara harus menyelenggarakan apa yang ditentukan dalam PPHN tersebut. Hal ini tak sejalan dengan prinsip negara presidensial. Kekhawatiran publik ini perlu menjadi pertimbangan khusus bagi para legislator. Amandemen untuk menuntaskan PPHN nampak menjadi pilihan yang kurang tepat untuk diambil oleh MPR. Sebetulnya masih ada jalan lain yang bisa ditempuh, yakni melalui UU.