Masih sulitnya membendung alih fungsi lahan pertanian di tengah upaya meningkatkan produktivitas karena pemerintah tidak berpihak pada petani dan lebih memilih jalan yang mudah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dengan impor. Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan meningkatnya laju alih fungsi lahan karena rendahnya political will pemerintah untuk mempertahankan lahan pertanian. “Diperlukan political will dan law enforcement yang konsisten guna secepatnya mengantisipasi krisis energi dan pangan ke depan,” tegas Awan.
Antisipasi dini, dengan menjaga keberlanjutan lahan pertanian sangat urgent, karena pemerintah tidak bisa selamanya mengandalkan impor untuk menjaga pasokan domestik. Apalagi, kebergantungan impor sangat rentan dengan dinamika politik global saat ini. Belum lagi, jika negara-negara mitra tiba-tiba memperketat ekspornya yang membuat negara yang bergantung ke impor pangan kelimpungan mencari sumber lain. Kalaupun ada, harganya melambung yang membuat devisa terkuras. Sementara di dalam negeri kebutuhan semakin meningkat karena populasi juga terus bertumbuh. “Makanya perlu menggenjot produksi domestik. Masalahnya, produksi juga bergantung pada ketersediaan lahannya. Kalau lahannya tidak tersedia, bagaimana bisa meningkatkan produksi,” tandas Awan.
Kegagalan menekan laju alih fungsi lahan, kata Awan, juga tidak terlepas dari praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, termasuk di sektor pertanian/pangan, apalagi serikat dan koperasi tani masih lemah. “KKN ini pula yang membuat eksekusi terhadap UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan itu lemah,” katanya. Di sisi lain, sinergitas pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) juga sama sekali tidak ada, pusat jalan sendiri, daerah juga begitu. Ke depan, menurut Awan, selain penegakan hukum yang tegas, negara juga perlu menyiapkan skema insentif baru yakni pemberian insentif konservasi lahan pertanian.