Pada Senin (17/4/2023), Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sedianya menggelar sidang perdana gugatan perdata Partai Berkarya terhadap KPU RI. Namun, sidang perdana itu ditunda karena dokumen kedudukan hukum (legal standing) penggugat dan tergugat belum lengkap. Sidang akan digelar kembali pada Kamis (4/5/2023). Dokumen kedudukan hukum yang dianggap tidak lengkap itu dari pihak penggugat Partai Berkarya adalah salinan fisik akta pendirian partai politik dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sementara itu, dari pihak KPU RI juga belum membawa salinan Keputusan Presiden RI terkait pengangkatan tujuh komisioner periode 2022-2027.
Komisioner Teknis KPU, Idham Holik, sebagai penyelenggara pemilu, KPU harus menghormati hak hukum dari parpol calon peserta pemilu. Setali tiga uang, KPU pun juga harus menghormati lembaga pengadilan. Namun, putusan banding gugatan perdata Partai Prima kemarin, harus dipertimbangkan. Putusan itu menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak memiliki kewenangan dan kompetensi untuk mengadili perkara administrasi pemilu. Hal itu seharusnya bisa jadi yurisprudensi hukum.
Pengajar Fakultas Hukum UI, Titi Anggraini, berpandangan pengadilan negeri seharusnya tidak lagi memproses gugatan yang berkait dengan sengketa proses pemilu pasca-putusan banding Partai Prima dibacakan kemarin. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta meneguhkan keberadaan skema penegakan hukum pemilu yang diaur di UU Pemilu, dan menjadi refleksi bagi hakim dan peradilan umum dalam menangani perkara-perkara pemilu yang datang. MA sebaiknya juga menindaklanjuti putusan banding itu dengan menerbitkan Surat Edaran tentang urgensi lingkungan peradilan untuk memedomani sistem penegakan hukum pemilu yang ada di rezim UU Pemilu. Surat edaran itu harus bisa membuat peradilan umum patuh pada pembatasan kewenangan absolut yang dimiliki oleh setiap institusi peradilan.