Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (16/8/2023) mengandung kontradiksi. Hal ini terutama pada sektor hilirisasi pertambangan nikel. Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi menyatakan, narasi Indonesia Emas 2045 yang disampaikan oleh Jokowi penuh paradoks, sangat parsial sekaligus tidak memprediksi dampak krisis multidimensi yang terjadi. Pada saat yang sama, berbagai kebijakan yang dijalankan oleh Jokowi selama ia memimpin tidak mengarah pada aksi adaptasi dan mitigasi dampak krisis iklim.
“Padahal pada tahun 2045 Indonesia akan menghadapi situasi genting, yaitu puncak dari dampak buruk krisis iklim, yang ditandai oleh krisis air bersih, krisis pangan, banjir bandang dan longsor di mana-mana, cuaca dan panas ekstrim, kebakaran hutan dan lahan, tenggelamnya desa-desa pesisir dan pulau-pulau kecil,” tegas Zenzi. Menurut Zenzi, pidato Presiden tidak menunjukkan kegelisahan atas kegentingan krisis di Indonesia. Agenda hilirisasi nikel adalah satu bentuk ketidakpedulian Presiden terhadap krisis ekologis dan krisis iklim yang terjadi.
Fakta buruknya kondisi lingkungan dan kehidupan rakyat akibat pertambangan sudah terbukti pada pembangunan industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), di Morowali, Sulawesi Tengah, tambang nikel Harita Group di Pulau Obi, Maluku Utara, dan wilayah lingkar tambang dan industri nikel lain di seluruh Indonesia. Walhi mencatat, hilirisasi nikel terbukti telah memorak porandakan bentang alam di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara, baik di darat maupun di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. Sampai dengan tahun 2022, konsesi lahan untuk tambang nikel di Indonesia mencapai 1.037.435,22 hektar. Dari jumlah itu, lahan seluas 765.237,07 hektare berada dalam kawasan hutan.