Unar warga Pamokolan, Karangtengah, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat mulai bertani sejak awal 1980-an. Menurutnya, kondisi pertanian telah berubah drastis kurun dua dasawarsa terakhir. Unar mengaku kondisi dulu masih lebih baik, petani memperoleh hasil panen yang melimpah dengan harga jual gabah yang tinggi. Tak hanya itu, pupuk juga mudah didapat, tidak seperti sekarang yang harganya selangit. Kalaupun bisa mendapatkan pupuk dengan harga murah atau yang bersubsidi, petani harus mengikuti sejumlah regulasi dan dibatasi. Selain masalah klasik tersebut, luas sawah juga semakin menyempit akibat alih fungsi lahan yang masif serta minat masyarakat yang menurun drastis. Di lingkungan Unar sendiri, nyaris tidak ada petani dari kalangan muda atau usia produktif. Rata-rata mereka berusia setengah abad bahkan sudah lanjut usia. Unar menilai, menurunnya ketertarikan masyarakat untuk bertani atau menjadi petani alasan utamanya dari penghasilan. Petani juga masih belum bisa berdikari karena belum bisa lepas dari sistem tengkulak. Para tengkulak ini tak hanya membeli gabah dari petani saat musim panen, tetapi juga memposisikan diri sebagai pemodal. Unar mencontohkan, untuk biaya produksi termasuk belanja bibit dan pupuk dengan lahan setengah hektare, dibutuhkan biaya sebesar Rp 5 juta. Besaran modal tersebut, setengahnya merupakan pinjaman dari tengkulak.
Dindin (47), petani asal Munjul, Kecamatan Cilaku, Cianjur, ini baru sepekan menanam padi di atas lahan seluas 5.000 meter persegi. Dindin harus mengeluarkan biaya Rp 6 juta untuk sewa lahan selama musim tanam atau hingga lima bulan ke depan. Biaya sewa tersebut akan dibayar dengan gabah saat panen nanti. Alhasil, saat panen tiba, Dindin mengaku kadang sama sekali tidak mendapatkan hasil, terlebih ketika harga jual gabah anjlok. Pasalnya, penghasilannya itu masih harus dikeluarkan sebagai penambah modal untuk musim tanam berikutnya. “Makanya kalau tidak punya penghasilan sampingan, ya petani-petani seperti kita ini repot,” ucapnya. Karena itu, selama masa tanam, Dindin juga menanam sayuran dan palawija, bahkan terkadang kerja serabutan menjadi buruh bangunan. Dindin dan Unar berharap, pemerintah lebih peduli terhadap nasib petani yang selama ini dirasakan mereka masih termarginalkan, baik oleh regulasi maupun kondisi ekonomi dan sosial yang ada.