Jumlah penduduk dunia yang terus tumbuh hingga 8,034 miliar jiwa saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pemimpin negara-negara terutama dalam menyiapkan pangan dan kebutuhan lainnya. Data dari worldometer.info menyebutkan jumlah angka kelahiran tahun ini sebanyak 52.439.131 jiwa sedangkan jumlah angka kematian mencapai 26.259.061 jiwa. Dengan demikian jumlah pertambahan penduduk tahun ini mencapai 26.180.071 jiwa. Hal itu berarti, dunia harus menyiapkan asupan pangan tambahan pada tahun ini kepada lebih 26 juta lebih manusia. Sementara, saat ini saja di beberapa kawasan sudah dilanda kelaparan salah satunya karena produksi pangan global menyusut akibat cuaca ekstrem, terutama di Tiongkok dan India yang merupakan negara produsen.
Selain penurunan produktivitas akibat cuaca ekstrem di India dan Tiongkok, negara produsen sekaligus eksportir pangan lainnya yaitu Ukraina sedang dilanda konflik dengan Russia. Ekspor gandum Ukraina ke berbagai negara konsumen dihambat oleh Russia yang tengah berseteru. Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah yang diminta pendapatnya mengatakan perubahan iklim nyata sudah terjadi dan memberikan dampak yang cukup serius. Pengalaman di lapangan menunjukkan perubahan iklim sangat terkait dengan perubahan musim yang berkorelasi dengan ledakan hama penyakit dan penurunan produksi. “Situasi ini tentu saja memerlukan keseriusan semua pihak tidak hanya pada level masyarakat atau petani namun yang lebih penting pemerintah,” ujar nya. Said menekankan penguatan kapasitas adaptasi petani perlu diperkuat dengan berbagai cara mulai dari penguatan akses informasi, pelatihan, dan pendampingan dan lainnya. Ini diperlukan karena hari ini petani seolah berjuang sendiri. “Tentu saja petani memerlukan dukungan yang kuat dari para pihak lainnya,” kata Said.
Guru Besar Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto mengatakan dalam situasi ancaman perubahan iklim yang mengancam ketersediaan pangan secara global, maka perlu dua langkah yang harus dipercepat. Di sektor konsumsi, masyarakat didorong untuk tidak hanya tergantung pada satu komoditas utama. Sedangkan, di sisi produksi perlu mencari strategi agar setiap komoditas lebih tahan terhadap kelangkaan air. “Peringatan PBB memang perlu diantisipasi, namun kalau kita kembali ke alam atau back to nature maka sumber karbohidrat bagi masyarakat, bukan hanya dari beras tetapi bisa dari singkong atau aneka umbian, asal bukan gandum (terigu) yang kita tidak bisa menanamnya dan 100 persen impor,” kata Dwijono.