Perubahan iklim merupakan masalah terbesar yang dihadapi oleh manusia. Meski demikian, upaya negara-negara untuk melawannya masih lamban. Hal tersebut disampaikan pendiri sekaligus Ketua Foreign Policy Community Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal dalam acara Indonesia Net-Zero Summit 2023 di Jakarta, Sabtu (24/6/2023). Dino menyampaikan bahwa ada beberapa kenyataan pahit yang harus dipahami agar masyarakat Indonesia mengerti posisi dan situasi mengenai masalah perubahan iklim. Beberapa diantaranya adalah umat manusia berpacu dengan waktu. Akan tetapi, bangsa-bangsa di dunia terlalu lamban untuk membatasi kenaikan agar tidak melampau 1,5 derajat celsius.
Dalam perjanjian Perjanjian Paris, negara-negara di dunia menargetkan agar kenaikan rata-rata suhu rata-rata global tidak lebih dari 1,5 derajat celcius. Akan tetapi, berbagai kebijakan yang diambil negara-negara di dunia saat ini diproyeksikan justru akan menaikkan suhu bumi sekitar 3,2 derajat celsius. Dino menyebutkan bahwa agar batas 1,5 derajat celsius tidak terlampaui, semua usaha yang berhubungan isu iklim harus bergerak lebih cepat. Contohnya adalah transisi kendaraan listrik dipercepat 22 kali lipat dan penggunaan energi rendah karbon dipercepat delapan kali lipat. Selain itu, Dino mendesak agar penggunaan batu bara harus disetop lima kali lipat lebih cepat.
Sementara itu, reforestasi dipercepat lima kali lipat, penggunaan energi terbarukan harus dipercepat tiga kali lipat, serta percepatan pembersihan listrik 1,5 kali lipat. Kenyataan yang lain adalah perubahan iklim adalah agenda urgen untuk seluruh bangsa-bangsa dunia. Pendiri FPCI tersebut juga mengatakan bahwa faktor perubahan iklim belum menjadi risiko yang dihitung dalam visi Indonesia Emas 2045 adalah realitas pahit yang lainnya. Realitas pahit yang terakhir adalah prospek kebijakan iklim Indonesia masih labil karena angin politik ke depan belum terjamin. Selain itu, komitmen birokrasi yang belum merata, pemerintah daerah yang belum sepenuhnya berkomitmen, usaha swasta belum sepenuhnya terlibat, dan perhatian publik yang belum optimal. Meski demikian, Dino menyebutkan bahwa bangsa yang beruntung adalah bangsa yang sejak awal menyadari dan menyiasati peluang emisi nol bersih atau net zero emission (NZE) dalam isu iklim.