Pertumbuhan Belum Mampu Atasi Persoalan di Masyarakat

Pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan 2022 yang tercatat sebesar 5,44 persen memang lebih baik dibanding negara-negara lain sehingga mendapat apresiasi dari lembaga internasional. Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan neraca perdagangan Indonesia mencatatkan surplus selama 27 bulan berturut-turut, dan di semester I tahun 2022 ini surplusnya sekitar 364 triliun rupiah. Namun, pencapaian tersebut belum mampu menjawab berbagai persoalan yang meresahkan masyarakat. Beberapa hal yang merisaukan kalangan masyarakat menengah ke bawah saat ini seperti daya beli yang semakin tergerus karena inflasi, kelangkaan bahan bakar minyak (BBM) di hampir semua daerah terutama yang disubsidi seperti pertalite dan solar, serta masalah kenaikan harga beberapa kebutuhan pokok lainnya seperti cabai, daging ayam, dan telur.

Pakar Kebijakan Publik dari Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengatakan surplus anggaran dan neraca perdagangan patut diapresiasi, namun harus dilihat lebih cermat faktor-faktor yang penyebabnya. Menurut Achmad, surplus anggaran lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah mengerem atau menghemat belanja dibandingkan pada 2021 lalu. Sedangkan surplus neraca perdagangan lebih banyak karena lonjakan harga komoditas, sehingga setiap saat bisa kembali terkoreksi. Apalagi ke depan, dengan kekhawatiran ekonomi dunia akan melambat, tentu mengurangi permintaan komoditas sehingga harga berangsur-angsur turun. Surplus anggaran dan neraca perdagangan juga tidak signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

“Buat apa surplus APBN, kalau tidak digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan belanja negara yang tepat, tetapi sebagian malah digunakan untuk penurunan posisi utang luar negeri, terutama pelunasan jaman bilateral, komersial, dan multilateral yang jatuh tempo selama periode April hingga Juni 2022,” kata Achmad.

Search