PT Pertamina (Persero) berharap pemerintah menghapus pengenaan cukai untuk etanol yang menjadi pencampuran bahan bakar minyak (BBM) berbasis fosil. Hal ini untuk mendukung pengembangan bahan bakar ramah lingkungan. Lantaran, etanol merupakan alkohol yang bisa didapat dari molases tebu, cassava, jagung dan sorgum, juga bisa dari sampah organik. Direktur Utama (Dirut) Pertamina Nicke Widyawati menjelaskan, saat ini etanol saat ini masih dikenakan cukai karena termasuk dalam bagian alkohol. “Hari ini boleh dibilang, kita belum berpikir tentang profit, kenapa? Karena adanya penerapan bea cukai Rp 20.000 (per liter) yang diterapkan karena (etanol) masih dianggap sebagi bagian dari alkohol,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR, Rabu (30/8/2023). Padahal, lanjutnya, etanol yang digunakan Pertamina untuk kebutuhan bahan bakar, bukan minuman alkohol yang memang dikenakan cukai Rp 20.000 per liter oleh pemerintah. Oleh sebab itu, Nicke menilai, dengan pembebasan cukai etanol untuk bahan bakar, maka memberikan manfaat bagi Pertamina dalam mengembangkan bioenergi. Termasuk pula manfaat terhadap lingkungan karena bahan bakar dengan pencampuran etanol lebih rendah emisi. “Tentu kami memohon dukungan dari Komisi VII DPR untuk kita dapatkan pembebasan cukai supaya ini bisa didorong karena manfaatnya sangat besar,” ujarnya. Nicke menambahkan, pada dasarnya industri dalam negeri mampu memproduksi etanol, namun kapasitas produksinya masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pengembangan bioenergi.
Saat ini kebutuhan etanol untuk produk Pertamax Green 95 sudah tercukupi dari industri dalam negeri. BBM hasil percampuran Pertamax dengan 5 persen etanol (E5) yang baru tersedia di sejumlah SPBU Jakarta dan Surabaya ini, hanya membutuhkan 31 kiloliter (KL) etanol. Namun dengan target pengembangan bioenergi di 2024, yakni Pertamax Green 95 yang pencampuran etanolnya naik menjadi 8 persen (E8) dan Pertamax Green 92 yang akan dirilis dari hasil percampuran Pertalite dengan 7 persen etanol (E7), maka produksi etanol dalam negeri tidak mencukupi. Pertamina mencatat proyeksi kebutuhan etanol di 2024 untuk Pertamax Green 95 di mencapai 4.978 KL dan Pertamax Green 92 mencapai 2,29 juta KL. Padahal kapasitas produksi etanol dalam negeri hanya berkisar 63.000 KL per tahun. Berkaca pada data tersebut, maka akan dibutuhkan impor etanol, sembari menunggu percepatan peningkatan produksi etanol oleh industri dalam negeri. “Kita harus impor dulu, tapi itu tidak masalah karena kita pun impor gasoline, jadi (untuk sementara) kita hanya mengganti impor gasoline dengan impor etanol yang secara emisi lebih baik,” tutup Nicke.